JAKARTA, Berita HUKUM - Keberadaan aturan mengenai alat bukti elektronik seperti yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sangat penting di era teknologi informasi yang semakin maju. Jika aturan tersebut dihilangkan, maka tidak ada aturan yang yang melindungi warga negara dari kejahatan dunia maya.
Demikian disampaikan oleh pakar hukum media dari Universitas Airlangga Henry Subiakto dalam sidang uji materiil UU ITE dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sidang perkara Nomor 30 dan 31/PUU-XIV/2016 itu digelar pada Selasa (3/5) lalu di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Subiakto selaku ahli yang dihadirkan Pemerintah, kemajuan teknologi bisa mengubah hal privat menjadi milik publik meski tanpa izin. Hal itu termasuk ke dalam ranah pidana dan membutuhkan perlindungan hukum untuk pencegahannnya, yakni UU ITE.
"Makanya kenapa pasal-pasal di Undang-Undang ITE itu (hal) privat pun bisa masuk di dalam ranah pidana. Karena sekarang memang kelihatannya privat. Saya hanya mengirim informasi kepada satu orang. Tapi satu orang itu melanjutkan kepada orang lain. Terus, akhirnya menyebar menjadi sebuah komunikasi publik yang luar biasa yang jangkauannya bisa jutaan orang tapi dalam waktu yang panjang melalui person to person. Ini adalah undang-undang untuk masa depan dan undang-undang yang berkait dengan kehidupan digital," terangnya.
Terkait rekaman dapat dijadikan sebagai alat bukti seperti pertanyaan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Subiakto menjelaskan setiap aktivitas yang terekam secara digital dapat dijadikan sebagai alat bukti. Namun jika hal itu bersifat privat, kemudian dibuka ke publik tanpa seizin si pemilik, maka hal itu bisa terancam pidana.
"Sekarang ada orang berkomunikasi dengan orang lain secara privat. Kemudian salah satu itu membuka pembicaraannya, apakah ini pidana atau tidak? Ya, tergantung sudah diatur oleh undang-undang atau tidak? Kalau sudah diatur, dia melanggar undang-undang, berarti dia pidana," terangnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Pakar Hukum Telematika Universitas Indonesia Edmon Karim yang menyebut penyebarluasan rekaman tanpa seizin si pemilik dapat melanggar hak asasi manusia. Namun, sambungnya, membatalkan keberlakuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 44 UU ITE bukan solusi yang dapat dibenarkan. "Tapi kalau Pasal 5 itu harus hilang dari undang-undang, maka kita enggak punya lagi satu entry yang menyatakan informasi elektronik sebagai alat bukti untuk multi hukum acara," paparnya.
Dalam permohonan Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mantan Ketua DPR Setya Novanto sebagai Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor. Pemohon menjelaskan telah dipanggil dan dimintai keterangan oleh Penyelidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia.
Pemohon menilai keberadaan norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti yang sah adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan perekaman. Tidak adanya pengaturan tersebut, dapat menciptakan situasi seperti yang dialami Pemohon, yaitu dianggap dan dikatakan telah melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, menerima pemberian atau janji. Tudingan tersebut, menurut Pemohon, hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah (illegal) yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan untuk itu, dalam hal ini hasil rekaman yang dilakukan oleh Ma'roef Sjamsudin. Pemohon menilai tindakan perekaman tanpa kepentingan penegakan hukum oleh bukan aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk itu serta penggunaanya sebagai dasar untuk melakukan penyelidikan tidak selaras dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.(LuluAnjarsari/lul/mk/bh/sya) |