JAKARTA, Berita HUKUM - Pakar Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin menyebut status keadaan konflik, baik pada skala kabupaten/kota, provinsi, atau nasional tergolong salah satu spesies keadaan bahaya menurut Pasal 12 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Hal itu diungkapkannya dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU PKS) yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. “Karena itu, seharusnya penetapan status keadaan konflik tetap otoritas presiden sesuai Pasal 12 UUD 1945, agar fungsi pemerintahan yang terganggu bisa dikendalikan segera dan bisa melakukan pengerahan TNI, guna membantu polri, sesuai Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang PKS akselerasi penanggulangan keadaan konflik selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Polri termasuk angkatan darat, laut, dan udara, sesuai Pasal 10 UUD 1945,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Selasa (15/7).
Lebih lanjut, menurutnya, penetapan keadaan bahaya yang salah satu jenisnya adalah status keadaan konflik, tidaklah dapat didelegasikan kepada siapa pun termasuk kepala daerah. “Jangankan mendelegasikan kepada bupati atau walikota, kepada wakil presiden sekalipun yang bersama-sama dipilih langsung oleh rakyat tetaplah tidak boleh didelegasikan, karena otoritas penetapan status keadaan bahaya adalah anak kandung dari lembaga pemegang kekuasaan,” tegasnya.
Dengan kata lain, bab-bab desentralisasi otonomi daerah tidak bisa mengakuisisi pasal tentang status keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak tepatnya mendasarkan doktrin pembentukan undang-undang dalam salah satu materi muatan ayat atau pasal dalam undang-undang, imbuhnya, bisa mengakibatkan kekeliruan pijakan akan materi muatan ayat dalam konstitusi. Kekeliruan ini secara linier bisa berimplikasi kehadiran materi muatan ayat atau pasal dalam undang-undang justru melanggar atau menentang konstitusi itu sendiri yang mendestruksi prinsip-prinsip konstitusional pemegang kekuasaan menurut konstitusi.
Oleh karena itu, ketentuan Pasal 16 UU PKS yang menyatakan penetapan status keadaan konflik skala kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati sesungguhnya inkonstitusional.
Hal tersebut kemudian berimplikasi dengan inkonstitusionalitasnya juga Pasal 17, 18, 19, 23 ayat (1), 24 ayat (1), Pasal 26, Pasal 28 sepanjang frasa skala nasional, serta beberapa frasa lainnya, dan Pasal 29, 30, 31, Undang-Undang PKS, Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 33 ayat (3) sepanjang frasa skala nasional, Pasal 33 ayat (4) sepanjang frasa bantuan penggunaan, dan Pasal 34, dan Pasal 35 Undang-Undang PKS sepanjang frasa bantuan penggunaan dan.
Sebelumnya, sejumlah LSM, yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG), M. Choirul Anam, S.H., dan Dosen Universitas Pertahanan Indonesia dan Direktur Program Ridep Institute, Anton Aliabbas, M.Si yang diwakili sejumlah kuasa hukum memohonkan uji materi UU Penanganan Konflik Sosial dengan perkara nomor 8/PUU-XII/2014. Pemohon menguji dua pasal dalam UU tersebut, yakni Pasal 16 dan Pasal 26. Kedua pasal tersebut berbunyi:
Pasal 16
Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 26
Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.
Alasan pengujian menurut pemohon adalah tidak seharusnya kepala daerah dapat menetapkan status keadaan konflik. Konstitusi, imbuhnya telah mengatur status keadaan darurat hanya dapat ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden. Oleh karena itu, penetapan status keadaan konflik sosial pun seharusnya ditetapkan secara resmi oleh Presiden. Pasalnya, status keadaan konflik sosial memiliki kualifikasi yang sama dengan status keadaan darurat atau bahaya menurut ketentuan UUD 1945.(Lulu Hanifah/mh/mk/bhc/sya) |