JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (15/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, dan Karyawan (SOJUPEK), Rachmawati Soekarnoputri, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida, mantan Menteri Pemuda Olahraga Adhyaksa Dault, serta beberapa Pemohon individu lainnya tercatat sebagai Pemohon dalam perkara ini.
Dalam sidang kali ini, Para Pemohon mengajukan ahli, yakni Aidul Fitriciada Azhari. Aidul dalam keterangannya mengungkapkan sumber daya air seharusnya tidak hanya merupakan komoditas ekonomi, namun juga merupakan hak asasi manusia. “Undang-undang Sumber Daya Air seharusnya menjadi bentuk tanggung jawab negara atas air kepada rakyat,” jelasnya.
Standar kehidupan yang layak seharusnya tidak hanya tercakup pemenuhan kebutuhan sandang dan papan, namun juga termasuk ke dalamnya adalah pemenuhan kebutuhan terhadap air. Hal tersebut karena air merupakan standar dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
“Hak atas air pada dasarnya agar mendapatkan air dengan aman, dapat diterima dan diakses secara fisik dapat dijangkau untuk penggunaan pribadi dan rumah tangga. Pada prinsipnya, air harus dapat diakses oleh setiap orang dengan adil,” ujar Aidul.
Sementara terkait privatisasi air minum, Aidul menjelaskan hal itu seperti yang diungkapkan Muhammad Yamin bahwa seperti memeras hak rakyat dengan kekuasaan. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan adanya penyelewengan terhadap pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara 058,059,060,063/PUU-II/2004 dan perkara 008/PUU-III/2005.
Selain itu, Pemohon juga tidak mempersoalkan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, yang memberikan kesempatan kepada koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat untuk menyelenggarakan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
Menurut Pemohon, ketentuan yang diatur PP tersebut telah menyimpang dari penafsiran MK yang tertuang dalam pertimbangan putusan PUU Sumber Daya Air yang telah diputus pada 2005 lalu. Syaiful mengungkapkan, dalam pertimbangannya MK menyatakan, “sehingga, apabila UU a quo (Red. tersebut) dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap UU a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali.
Menurut Pemohon, pasal 40 UU Sumber Daya Air menegaskan bahwa pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) adalah tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).(Lulu Anjarsari/mh/mk/bhc/sya) |