JAKARTA, Berita HUKUM - Pakar Hukum Persaingan Usaha Ningrum Natasya Sirait menegaskan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dibentuk untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif. Hal tersebut disampaikannya dalam sidang lanjutan perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016, Senin (9/1) di ruang sidang MK.
Hampir 16 tahun undang-undang tersebut ditegakkan, Ningrum menilai banyak dampak positif yang dirasakan dalam bidang ekonomi, kesempatan, maupun konsumen. Salah satunya adalah mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Undang-undang ini pun dapat mencegah diskriminasi yang berdampak negatif terhadap efisiensi, persaingan sehat, dan keadilan serta menghindarkan perilaku yang menghalalkan segala cara dalam memperoleh keuntungan," jelas ahli yang dihadirkan pemerintah tersebut dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Lebih lanjut, Ningrum menjelaskan UU Larangan Praktik Monopoli juga secara eksplisit menyebutkan tujuan objektif kebijakan persaingan usaha di Indonesia. Tujuan tersebut tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Larangan Monopoli.
Kewenangan KPPU
Terkait penjelasan Ningrum, Kuasa Hukum Pemohon M. Ainul Syamsu menanyakan pemaknaan kewenangan penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Pasal 36 huruf c, d, h, i UU Larangan Praktik Monopoli. Sebab dalam KUHAP, hanya anggota kepolisian yang diberikan kewenangan untuk menjadi penyelidik.
Menjawab hal tersebut, Ningrum mencoba mengajak pemohon untuk melihat keberadaan UU Larangan Praktik Monopoli dari sudut pandang berbeda. "Bahwa memang benar undang-undang ini sejak awal tidak sempurna. Jadi apabila kita mempertanyakan kesempurnaan sesuai dengan pemahaman kita bahwa penyelidikan, penyidik akan dilakukan dalam konsep KUHAP, jelas kita tidak akan mempunyai satu pandangan yang sama," jelasnya.
Pemohon adalah PT. Bandung Raya Indah Lestari yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan ketentuan Pasal 22, 23, 24, Pasal 26 huruf c, d, h, i, Pasal 41 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 44 ayat (4), ayat (5) UU Larangan Monopoli. Kerugian tersebut berkaitan dengan keputusan KPPU Nomor 12/KPPU-L/2015 yang membatalkan proses pelelangan badan usaha. Menurut Pemohon, pelelangan tersebut telah telah dimenangkannya secara jujur, fair, dan terbuka.
Dalam dalil permohonannya, Pemohon menyatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut tidak mengatur secara jelas dan tegas kedudukan KPPU. Lebih lanjut, menurut Pemohon, frasa "pihak lain" dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU Larangan Monopoli tidak memberikan kepastian hukum. Sebab, Pemohon menilai frasa tersebut bersifat multitafsir dan tidak jelas sehingga membuka ruang bagi lembaga tertentu untuk bertindak sewenang-wenang. Pemohon berpendapat frasa "pihak lain" seharusnya dimaknai sebagai frasa "pelaku usaha lain".
Selain itu, Pemohon menganggap frasa "penyelidikan dan/atau pemeriksaan" dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU Larangan Monopoli tidak memberikan kepastian hukum karena seolah-olah KPPU atau unit kerja di dalamnya mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Ketidakjelasan tersebut dinilai dapat memberikan celah hukum karena KPPU dapat menjadikan hasil pemeriksaan administratif sebagai hasil penyelidikan. Padahal, Pemohon berpendapat KPPU tidak mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang untuk menjalankan ketiga fungsi tersebut, kecuali melakukan pemeriksaan administratif terhadap pelaku usaha.(ARS/lul/MK/bh/sya) |