JAKARTA, Berita HUKUM - Sesuai dengan konsep filosofis dan akademik guru profesional, peraturan perundang-undangan telah dirancang secara holistik sistematik untuk mengatur guru dan dosen. Hal ini disampaikan oleh Udin. S. Winataputra, selaku ahli yang dihadirkan Presiden dalam perkara uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) yang diajukan oleh Fathul Hadie Usman, dkk. Menurut Udin, setiap orang yang menjadi guru harus terdidik, terlatih dan bertugas dengan baik. Jika seorang guru telah memenuhi persyaratan itu, maka guru yang bersangkutan memperoleh penghargaan yang baik, yakni mendapatkan tunjangan sertifikasi.
“Bila seorang guru sudah dinyatakan terdidik baik, terlatih baik, tertanggung gugat dengan baik, maka guru yang bersangkutan, barulah teman-teman (guru) memperoleh pengahargaan yang baik, yakni mendapatkan tunjangan sertifikasi setiap bulan sebesar satu kali gaji pokok, itulah artinya dihargai dengan baik,” papar Udin di hadapan majelis sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, pada Selasa (14/4) siang.
Selanjutnya, Udin juga menyatakan bahwa guru yang telah memenuhi persyaratan harus mendapatkan perlindungan dengan baik. Perlindungan terhadap guru ini harus dipenuhi oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Dengan demikian, lanjut Udin, guru profesional akan mau dan mampu bekerja untuk mendidik anak bangsa. Udin juga menambahkan, keseluruhan penanganan terhadap guru memerlukan tata kelola yang baik, karena sangat menentukan terpenuhinya penghargaan dan perlindungan bagi guru. Udin kemudian berkesimpulan bahwa yang menjadi permasalahan Pemohon bukanlah permasalahan norma, melainkan lebih kepada tata kelola.
“Saya memahami sesungguhnya yang dimasalahkan oleh teman-teman Pemohon itu bukan terkait dengan esensi normanya, imperatifnya, bukan masalah rechtmatigheid-nya seperti yang didalilkan, melainkan terkait pada tata kelolanya,” urai Udin dalam sidang perkara yang teregistrasi dengan nomor 10/PUU-XIII/2015 dan Nomor 11/PUU-XIII/2015.
Pada kesempatan itu, Muchlas Samani yang juga dihadirkan sebagai Ahli menyatakan bahwa UU Guru dan Dosen memaknai guru sebagai pendidik profesional. Menurut Muchlas, sesorang disebut profesional jika memiliki pendidikan yang baik, kinerja tinggi dan mempunyai gaji yang baik. “Tiga indikator itu sudah terumuskan dengan baik dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005,” kata Muchlas, yang pernah menjabat sebagai Rektor di Universitas Negeri Surabaya.
Lebih lanjut, Muchlas mengatakan bahwa UU Guru dan Dosen tidak mengenal istilah guru tidak tetap. Namun menurutnya, dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa istilah tentang guru, yakni guru pegawai negeri sipil (PNS) di sekolah negeri, guru PNS di sekolah swasta, guru tetap yayasan, guru honorer daerah, guru bantu dan guru tidak tetap. “Sekali lagi itu istilah dalam kehidupan sehari-hari yang tidak kita jumpai di Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005,” kata Muchlas.
Menganggapi keterangan itu, Pemohon diwakili Fathul Hadie Usman menanyakan kepada Ahli terkait dengan adanya fakta bahwa guru tidak tetap tidak bisa memperoleh sertifikasi. Selain itu, Fathul juga menanyakan tentang pendidikan profesi yang pada kenyataannya tidak diperbolehkan bagi guru tidak tetap dan adanya fakta bahwa guru tidak tetap tidak kunjung memperoleh status PNS. “Walaupun Peraturan Pemerintah 48, Peraturan Pemerintah 43, itu mengamanatkan mereka di-PNS-kan (diangkat sebagai PNS), tetapi kenyataannya tidak di-PNS-kan juga dan tidak bisa memperoleh hak-haknya,” papar Fathul.
Menjawab pertanyaan itu, baik Udin maupun Muchlas menyatakan bahwa persoalan yang dimaksud oleh Pemohon bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan terkait pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pemerintah. “Tapi Saya khawatir karena esensi dari pertanyaan itu sebenarnya memasalahkan antara undang-undang dengan PP, ya mungkin saya tidak siap dan tidak berkewenangan untuk menjawab pertanyaan itu,” kata Udin.
Atas jawaban tersebut, Fathul mengungkapkan bahwa Ia tidak mempermasalahkan peraturan pemerintah, tetapi pemaknaan pemerintah terhadap UU Guru dan Dosen yang menghambat guru untuk mendapatkan sertifikasi dan gaji yang layak.
“Kami tidak mempermaslahkan PP 74 nya, tetapi pemaknaan pemerintah yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya itu, sehingga menghambat guru untuk mendapat sertifikasi, untuk mendapat tunjangan profesi, untuk mendapatkan gaji yang layak,” papar Fathul.
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon merasa dirugikan karena ketentuan dalam UU Guru dan Dosen membedakan status guru sebagai guru tetap, guru negeri dan guru swasta. Ketentuan ini kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa yang berhak memperoleh sertifikasi guru hanya guru yang berstatus sebagai guru tetap, baik yang berstatus negeri maupun swasta. Sedangkan guru tidak tetap atau guru kontrak tidak mempunyai hak untuk memperoleh sertifikasi. Untuk itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa “guru” juga harus dimaknai “termasuk guru tidak tetap”, sehingga ketentuan terkait di dalam UU Guru dan Dosen dinyatakan konstitusonal bersyarat. Pemohon juga meminta agar ketentuan dalam UU Sisdiknas, yaitu Pasal 14 dan Pasal 49 ayat (2) berlaku secara konstitusional bersyarat. Hal ini dikarenakan adanya kevakuman hukum terhadap status guru kontrak, di mana menurut Pemohon sebelumnya telah MK menyatakan bahwa guru kontrak sudah tidak diperbolehkan.(TriyaIR/mk/bh/sya) |