JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua MPR yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Luar Negeri, Ahmad Basarah, berharap keterlibatan Jerman sebagai sekutu AS mengirim kapal perang ke Laut Cina Selatan (LCS) tidak menambah panas suhu politik di kawasan sengketa itu. Menyampaikan pesan perdamaian dari Jakarta, Rabu (4/8/2021), Ahmad Basarah berharap AS dan Tiongkok tidak terjebak dalam "Perangkap Thucydides" yang diteorikan ilmuwan politik AS, Graham T. Allison.
Istilah "Thucydides' Trap" atau Perangkap Thucydides dipopulerkan kali pertama oleh Allison pada 2012 untuk Financial Times untuk menggambarkan dipilihnya opsi perang oleh pemegang hegemoni dunia ketika muncul kekuatan regional baru. AS selama ini dikenal sebagai hegemon dunia, sementara Tiongkok dipersepsikan sebagai kekuatan baru itu. Allison menggunakan teori ini mengutip sejarawan sekaligus jenderal militer Athena, Thucydides , yang menjelaskan Perang Peloponnesia antara Athena dan Sparta terjadi akibat ketakutan Sparta melihat kekuatan baru Athena.
"Bangsa Indonesia tentu berharap keterlibatan militer Jerman sebagai sekutu AS di Laut China Selatan benar-benar untuk tujuan kebebasan navigasi seperti yang disampaikan Berlin kepada sekutunya, bukan untuk tujuan lain, apalagi untuk menambah panas suhu politik di kawasan sengketa itu," jelas Ahmad Basarah.
Media memberitakan, untuk kali pertama dalam dua dekade di tengah meningkatnya ketegangan AS dengan Tiongkok, Jerman mengirim satu dari empat fregat kelas Brandenburg Jerman, Bayern (Bavaria), dari pangkalan angkatan laut Jerman Wilhelmshaven Senin (2/8) lalu dalam upacara yang dihadiri Menteri Pertahanan Annegret Kramp-Karrenbauer. Kapal perang itu membawa 46 torpedo anti-kapal selam, peluru kendali anti-kapal, dan senjata anti-pesawat. Kapal tempur itu akan menghabiskan enam bulan ke depan di samudera lepas.
Menurut Ahmad Basarah, dunia mestinya bersyukur Perang Dingin antara AS dengan Rusia sudah lewat. Daripada memunculkan konflik baru sesama penghuni planet Bumi, dia menyarankan setiap negara terutama AS dan Tiongkok mencari solusi terbaru untuk menciptakan stabilitas regional dan internasional agar dunia terhindar dari "Jebakan Thucydides" ini.
"Semua penghuni planet Bumi kini punya musuh bersama bernama siluman Covid-19. Musuh kita ini tidak terlihat, tidak mengenal hukum perang, juga tidak mengenal perikemanusiaan. Mengapa tidak semua umat manusia bersatu melawan musuh bersama ini ketimbang perang," jelas Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu.
Ahmad Basarah juga menekankan, dalam ketegangan LCS itu, Indonesia sebaiknya tidak ikut arus mendukung salah satu dari kedua negara yang sedang berkontestasi sebagai pemegang hagemoni dunia. Dia mengusulkan Indonesia tetap konsisten mengikuti ajaran politik Bung Karno, yang memiilih menggalang aliansi negara-negara nonblok saat AS sebagai kampiun demokrasi bersitegang dengan negara-negara blok komunis.
"Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini untuk meredakan ketegangan dan mengusung perdamaian, sambil menarik manfaat ekonomi dan manfaat geopolitik dari persaingan global ini," jelas Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang itu.
Dari sejumlah pemberitaan media internasional, tampak bahwa AS dan Tiongkok memang telah memicu ketegangan dunia setelah kedua negara terlibat perang dagang, sementara dalam kondisi pandemi keduanya saling menyalahkan dan menarik dukungan politik banyak negara. Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, belum lama ini berkunjung ke Asia Tenggara, sementara di saat hampir bersamaan dilangsungkan latihan tempur gabungan AS bersama negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Ahmad Basarah menilai, sangat wajar jika AS melihat Tiongkok sebagai kekuatan baru dunia. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok kini tetap di angka 2,3 persen di akhir 2020, meski seluruh dunia terkena pandemi. Tiongkok diperkirakan akan menyalip AS sebagai ekonomi terbesar dunia di tahun 2050. Hal ini akan mengganggu hegemoni AS dan sekutunya.
Berbagai forum internasional seperti KTT G7, NATO, dan Uni Eropa (blok Barat) selalu berfokus pada ancaman Rusia dan Tiongkok di Asia Pasifik. Bagi AS, kedua negara itu disebut sebagai "ancaman ganda". Tiongkok sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua setelah AS tidak pernah diundang ke semua forum itu.
"Dengan konstelasi dunia yang seperti itu, sebenarnya terbuka peran buat Indonesia untuk aktif mengusulkan semua negara, termasuk Tiongkok, dilibatkan dalam semua pertemuan tingkat dunia itu. Indonesia sangat layak menjalankan peran perdamaian dunia. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat sudah tegas mengamanatkan agar negara kita turut serta mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial," tutup Ahmad Basarah.(MPR/bh/sya) |