Oleh: H. Tony Rosyid
GEORGE FLOYD mendadak jadi terkenal. Tak saja di Amerika, tapi di seluruh dunia. Kematian lelaki kulit hitam oleh polisi Amerika ini telah menciptakan gelombang massa. Karena kematian satu nyawa ini, protes, demonstrasi, bahkan penjarahan dan kerusuhan terjadi di hampir semua negara bagian di Amerika.
Hadapi situasi tak terkendali, Donald Trump terpaksa siapkan tentara. Tapi, permintaan Trump ditolak oleh Menteri Pertahanan, Mark Esper. Trump berang. Sang menteri pun mau dipecat. Tapi tak jadi, karena ada masukan dari sejumlah penasehat presiden.
Segawat itulah Amerika sehingga harus menurunkan pasukan tempur? Apakah situasi Amerika sudah tak terkendali dan Trump tak sanggup lagi menghadapi?
Di setiap negara ada Floyd. Seorang korban kesewenang-wenangan kekuasaan. Ada yang mati dibunuh, ada yang diculik, ada yang ditangkap, ada yang dijadikan tersangka, dan ada pula yang diteror dan diintimidasi . Masing-masing negara punya caranya sendiri untuk menghadapi protes rakyatnya.
Faktor utama Soekarno dan Soeharto jatuh karena kesewenang-wenangan itu. Kasus pemberontakan PKI dan krisis ekonomi itu hanya trigger belaka.
Jika di Amerika ada Floyd, di Indonesia ada Said Didu. Memang beda. Floyd dituduh memakai kupon kedaluwarsa. Said Didu dituduh mencemarkan nama baik.
Bedanya lagi, Floyd mati dengan cara yang sadis dan videonya ditonton oleh masyarakat di seluruh dunia. Sementara Said Didu ditetapkan jadi tersangka yang suratnya beredar dan menggegerkan dunia maya.
Said Didu dilaporkan ke polisi setelah dituduh melakukan pencemaran nama baik seseorang yang dianggap sangat kuat posisinya di lingkaran kekuasaan.
Pencemaran nama baik atau kritik? Tak mudah membedakannya. Dalam konteks ini, persepsi penguasa dan rakyat seringkali berbeda.
Sempat diberi kesempatan untuk minta maaf. Said Didu menolak. Merasa tidak bersalah. Ia hanya mengkritik, bukan mencemarkan nama baik. Jawabnya tegas! Nampaknya, Said Didu lebih memilih jadi martir. Siap dengan segala konsekuensinya, termasuk akan dipenjara. Apakah kasusnya akan jadi trigger terjadinya protes nasional? Sejarah yang akan membuktikan.
Yang jelas, berdasarkan surat yang beredar di media bernomor B/47/VI/2020/Diitibitsiber Bareskrim tertanggal 10 Juni 2020, Said Didu telah ditetapkan jadi tersangka. Menyusul Ruslan Buton yang lebih dulu jadi tersangka dalam kasus meminta Pak Jokowi mundur.
Status tersangka Said Didu mengacu pada surat yang beredar. Tapi, pihak kepolisian melalui Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Arga Jowono membantahnya. Apakah bantahan itu akan menganulir status tersangka Said Didu dalam surat yang beredar di media itu?
Rakyat bertanya-tanya, kok seperti ada keraguan menetapkan Said Didu jadi tersangka. Apakah ada yang khawatir bahwa Said Didu akan jadi Floyd di Indonesia? Memancing gelombang protes dan demonstrasi massa dari seluruh elemen bangsa?
Memang dilematis! Nasi sudah jadi bubur. Said Didu tersangka boleh jadi akan memicu terjadinya protes nasional yang makin kencang. Tapi, jika lepas, ini akan jadi tamparan keras buat Pak Menteri itu.
Rakyat terus berharap kepada pihak kepolisian agar bersikap netral, obyektif dan profesional. Ini taruhan nama baik bagi institusi terhormat itu, sekaligus akan jadi sejarah keadilan di negeri ini.
Yang pasti, kasus Said Didu telah menjadi sorotan, tidak saja media, tapi bahkan jadi perhatian seluruh aktifis di Indonesia.
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.(tr/bh/sya)
|