CINA, Berita HUKUM - Aparat keamanan wilayah Xinjiang, Cina, telah menahan lebih dari 200 orang sepanjang enam pekan terakhir atas tuduhan penyebaran video teroris. Aksi itu dilakoni di tengah gelombang serangan di sejumlah stasiun kereta api. Sebagaimana dilansir harian pemerintah, Global Times, kepolisian di wilayah berpenduduk mayoritas muslim etnik Uighur itu menahan sebanyak 232 orang.
Mereka dituding telah menyebarkan berbagai rekaman video di dunia maya yang mempromosikan terorisme. Sebelumnya, pada akhir Maret lalu, pemerintah daerah Xinjiang resmi melarang pengunduhan, penyimpanan, dan penyebaran video terkait aksi terror melalui internet.
Teror yang dimaksud juga berupa ekstremisme agama dan separatisme kelompok-kelompok etnik.
Penangkapan ratusan orang dengan tuduhan menyebarkan video terorisme dilakukan aparat Cina di tengah gelombang insiden penyerangan di stasiun kereta di wilayah Xinjiang dan sekitarnya.
Pada April lalu, sekelompok orang bersenjata belati menyerbu stasiun kereta di Urumqi, ibu kota Xinjiang, sehingga menyebabkan tiga orang tewas dan 79 lainnya cedera.
Kemudian pada Maret silam, 29 orang tewas dan 143 lainnya luka-luka tatkala sekelompok orang bersenjata parang menyerang stasiun kereta di Kota Kunming.
Separatis
Beijing menuduh kelompok separatis, seperti Partai Islam Turkistan (TIP) dan gerakan Islam Turkistan Timur (ETIM) sebagai dalang di balik rentetan kejadian tersebut.
Dilshat Rexit, juru bicara Kongres Uighur Sedunia, mengkritik rangkaian penangkapan di Xinjiang. Menurutnya, pemerintah Cina sengaja memakai peristiwa penyerangan baru-baru ini sebagai alasan untuk menangkap kaum muslim etnik Uighur.
“Aksi itu dilakoni untuk menangkapi orang-orang Uighur yang menggunakan internet demi mengungkap kebijakan-kebijakan Cina yang tidak menjunjung toleransi,” kata Rexit, Senin (12/5).
Sejumlah kelompok pembela hak asasi manusia mengatakan ketegangan di Xinjiang disebabkan oleh penindasan budaya dan kebijakan pemerintah Cina yang mengirim orang-orang etnik Han secara besar-besaran ke wilayah Xinjiang.(BBC/bhc/sya) |