JAKARTA, Berita HUKUM - Seorang ilmuwan politik Indonesia, dan selaku pengamat politik senior dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia Arbi Sanit menyampaikan bahwa, ide untuk kembali ke UUD'45 itu merupakan idenya kelompok atau golongan Orde Baru (utamanya kelompok militerisme zaman itu). Yang menurut Arbi bahwa, dari UUD'45 asli itulah menghasilkan dua (2) orang diktator dimasa Pemerintahan berkuasa (Soekarno dan Soeharto). Dan itu sudah bisa dibuktikan, ungkapnya kepada pewarta BeritaHUKUM.com pada hari Sabtu (30/1) di Jakarta.
"Presiden bisa amat jadi menentukan, dimana DPR bisa lumpuh. Jadi UUD'45 asli itu yang pasti diktator, sudah bisa dibuktikan membackup diktator," imbuhnya menjelaskan.
Beberapa di dalam Undang-undang diamandemen, dirubah, dan menyempurnakan sistem Presidensil. Karena Amandemen tahun 1999 dan 2002, itu tidak sempurna sistem Presidensilnya. Sejatinya, menurut penyampaian Arbi, dimana sistem Presidensil yang mencakup beberapa kriteria yaitu; Presiden sebagai Kepala Negara, Presiden dipilih langsung, Presiden Kepala Pemerintahan. Kriteria tersebut ada di dalam UUD'45 asli, maupun dalam UUD Amandemen. "Yang tidak ada dalam amandemen adalah Pemisahan Kekuasaan, antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta Check and Balancing," jelasnya, Sabtu (30/1).
"Check and Balancing itu Trias Politica, dimana Legislasi pada DPR, Yudikasi ada pada Mahkamah, dan Eksekutif selaku Kepala Negara selaku Pelaksana Negara," ujar Pria kelahiran Painan, Sumatera Barat, 76 tahun lalu ini.
Ia pun mencontohkan, seperti beberapa peristiwa terdahulu, seperti sewaktu mau mengangkat Kapolri. Ia menyanyangkan kenapa dari legislatif (DPR) ikut-ikutan, harusnya hanya mengetahui saja. Bukan menentukan seperti sekarang bisa setuju atau tidak. "Seperti itu juga Prolegnas RUU kok harus setuju antara Presiden dengan DPR ? buat apa Presiden ikut-ikutan bikin UU."
"Rancangan Undang-undang pertahun itu kan atas persetujuan Presiden. Tugas DPR, buat apa Presiden ikutan, Undang-undang bisa disetujui DPR, namun Presiden bisa veto (bisa batalkan), DPR bersama DPD bisa punya superveto (veto Presiden bisa dibatalkan kembali,) itu yang namanya sah," terangnya lagi.
"Kepres-kepresnya (Presiden) kacau balau, tabrak-tabrakan. Kepresnya beliau tabrakan," tegasnya.
"Dulunya hampir serupa jika Presiden tidak bisa di check and balance dengan Yudikatif dan DPR. Presidennya semena-mena dong, berkuasa semaunya dong," ucapnya.
"Kalau mau amandemen masukan hal seperti itu yah bagus. Pasal tentang Presiden, DPR dan Mahkamah Konstitusi. Perihal pembagian dan pemisahan Kekuasaan," pungkas Arbi.(bh/mnd)
|