JAKARTA, Berita HUKUM - Ira Hartini Natapradja Hamel yang merupakan ibu dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2016 Gloria Natapradja mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan). Aturan yang diuji terkait dengan kewajiban mendaftarkan diri bagi anak hasil perkawinan campuran. Sidang perdana perkara dengan Nomor 80/PUU-XIV/2016 digelar pada Selasa (4/10) di Ruang Sidang MK.
Diwakili oleh Fahmi Bachmid selaku kuasa hukum, pemohon mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan norma Pasal 41 UU Kewarganegaraan. Pasal tersebut menyatakan, "Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan".
Pemohon menilai anaknya yang merupakan hasil perkawinan campuran antara dirinya dengan pria berkewarganegaraan lain, mendapat diskriminasi akibat berlakunya ketentuan tersebut. Anak pemohon yang baru berusia 16 tahun belum memenuhi syarat administrasi untuk dapat memilih kewarganegaraan antara warga negara Indonesia (WNI) mengikuti kewarganegaran Pemohon selaku ibu kandungnya, atau memilih sebagai warga negara Perancis mengikuti kewarganegaraan ayah kandungnya. Hal tersebut membuat status kewarganegaraan anaknya kerap dipersoalkan dalam kaitan memperoleh pelayanan administrasi maupun kegiatan yang menyangkut kenegaraan.
"Akibat hilangnya atau dipersoalkan status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak Pemohon, menimbulkan kerugian langsung bagi diri Pemohon dan atau anak Pemohon yang belum dewasa karena mengakibatkan tidak bisa menjadi anggota PASKIBRAKA pada Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih tanggal 17 Agustus 2016," ujar Bachmid pada sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Menurut Pemohon, Pasal 41 UU Kewarganegaraan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (4) UUD 1945 karena kewajiban untuk mendaftarkan diri bagi anak yang belum berusia 18 tahun hasil perkawinan campuran yang ditakdirkan lahir dan besar di Indonesia dibebankan kepada keluarga Pemohon yang harus secara aktif mendaftarkan ke Pejabat yang berwenang. Padahal, lanjut Bachmid, dari bunyi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 justru melimpahkan kewajiban dalam penyelengaraan hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi setiap orang, termasuk hak atas status kewarganegaraan, kepada negara.
Pasal 41 UU Kewarganegaraan dinilai menimbulkan kerumitan administrasi pada Pemohon yang bertentangan dengan ketentuan konstitusional yang seharusnya negara menunaikan kewajiban untuk memberi kemudahan kepada setiap orang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.
Selain itu, Pemohon menjelaskan, negara memberikan pengakuan kewarganegaraan ganda pada anak yang belum berusia 18 tahun secara otomatis, yang disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Kewarganegaraan. Pasal tersebut berbunyi:
"Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l, dan Pasal 5 berakibat anakberkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya".
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. "Menyatakan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tandasnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Wahiduddin Adams tersebut memberikan saran perbaikan. Palguna menyarankan agar pemohon fokus pada dalil permohonannya mengenai adanya diskriminasi.
"Misalnya Anda ini anggap diskriminasi, ya itu sudah ada sebagian ya, sudah ini, tapi fokuskan ke sana, jadi jangan loncat ini kemudian loncat belum lagi ke tempat yang lain. Nah kemudian itu. Nah, terakhir baru kemudian dirangkum dalam kesimpulan. Dengan begitu maka ini bertentangan dengan pasal ini, pasal ini, kan gitu enak, sehingga nanti ketika mohon di petitum, jelas sudah jadi permohonannya begitu," sarannya.
Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya akan digelar sidang pemeriksaan perbaikan permohonan.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya) |