JAKARTA, Berita HUKUM - Sejalan dengan kewenangan Bank Indonesia (BI) untuk mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari APBN, maka BI memiliki fungsi pengawasan dan pengaturan. Namun dengan adanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kewenangan itu beralih dan mengganggu pelaksanaan tugas BI. Hal ini disampaikan oleh Deputi Gubernur BI Ronald Waas yang hadir dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) pada Senin (22/12) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan bank kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kewenangan yang menjadi penopang pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia melalui perbankan berkurang secara signifikan yang akibatnya dapat mengganggu pelaksanaan tugas Bank Indonesia secara keseluruhan karena pasal-pasal dalam Undang-Undang Bank Indonesia yang mengatur kewenangan untuk pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan serta akses data dan informasi terhadap perbankan dicabut oleh Pasal 69 Undang-Undang OJK,” papar Ronald dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva tersebut.
Ronald menjelaskan, khusus di bidang moneter terdapat beberapa kebijakan OJK yang berpotensi menimbulkan gangguan transmisi kebijakan moneter yang merupakan kewenangan Bank Indonesia. Sebagai contoh, lanjutnya, kebijakan OJK mengenai suku bunga maksimum untuk simpanan di bank menyebabkan adanya acuan lain dalam penetapan suku bunga oleh perbankan selain suku bunga acuan. “Kemudian contoh lain adalah kebijakan OJK untuk kegiatan perusahaan pembiayaan yang tidak sejalan dengan peraturan Bank Indonesia mengenai prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan hutang luar negeri korporasi nonbank,” jelasnya.
Kemudian, di bidang sistem pembayaran, sesuai dengan UU Bank Indonesia, pengaturan, pengawasan, dan perizinan sepenuhnya menjadi kewenangan Bank Indonesia dalam pelaksanaannya. Hal ini mengingat kegiatan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran juga merupakan bagian dari kegiatan usaha bank. Instrumen sistem pembayaran juga merupakan produk bank, maka sering terjadi perbedaan pandangan terkait kewenangan untuk mengatur, mengawasi, dan memberikan izin usaha bank di bidang sistem pembayaran antara Bank Indonesia dan OJK. “Sementara kewenangan Bank Indonesia di bidang sistem pembayaran tetap dijamin oleh Undang-Undang Bank Indonesia karena Undang-Undang OJK tidak mencabut atau mengubah kewenangan BI di bidang sistem pembayaran,” urainya.
Ketidakpuasan Pungutan
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Sigit Purnomo, menjelaskan salah satu pemicu persoalan yang timbul adalah mengenai pungutan. Perbanas menekankan bahwa pihaknya akan bertindak netral dalam menghadapi perkara yang diajukan oleh Tim Pembela Ekonomi Bangsa.
“Kami berpendapat bahwa dengan lahirnya undang-undang ini, maka semua pihak seharusnya mengikuti apa yang menjadi arahan dari undang-undang yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Namun demikian, kami juga bisa memahami mengenai keberatan dari Pemohon yang menyampaikan mengenai persoalan pungutan. Karena sebelum lahirnya Otoritas Jasa Keuangan ini, pengaturan dan pengawasan jasa keuangan itu tidak menimbulkan beban biaya apa pun. Dengan demikian, ketika kemudian lahir Otoritas Jasa Keuangan dan ada beban pungutan, sangat bisa dipahami kalau kemudian ada pihak-pihak yang merasa keberatan,” tuturnya.
Akan tetapi, Perbanas berpendapat bahwa keberatan atas pungutan ini tidaklah arif dan tidak bijaksana kalau kemudian Pemohon menyampaikan usulan untuk membubarkan OJK. Konsekuensi yang sangat berat bisa timbul apabila ada usulan untuk membubarkan atau menonaktifkan atau membekukan operasi dari OJK. ”Saya kira ini tidak sepadan dengan persoalan karena keberatan mengenai pungutan. Namun demikian, di sisi yang lain kami juga ingin menghimbau kepada pihak Termohon bahwa dengan adanya gugatan ataupun permohonan yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi ini, ini menunjukkan bahwa dari pihak para pelaku di sektor jasa keuangan ini terdapat ketidakpuasaan mengenai persoalan mengenai pengutan,” paparnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, pemohon merasa lingkup kewenangan OJK telah melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pada dasanya OJK menurut Pemohon hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang berdasarkan pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya tidak sah karena pada pasal tersebut tidak mengatur hal tersebut.
Untuk itulah, dalam tuntutan atau petitum-nya, Pemohon meminta MK menyatakan UU OJK terutama Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 bertentangan dengan UUD 1945. Namun apabila nantinya MK tidak mengabulkan permohonan tersebut, mereka meminta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK dihapuskan. Pemohon juga mengajukan petitum provisi untuk menghentikan sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan sehingga memerintahkan Bank Indonesia mengambil alih sementara.(LuluAnjarsari/mk/bhc/sya) |