JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan hasil audit forensik kasus pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century, kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Jumat (23/12). Hasil audit forensik itu diserahkan langsung Ketua BPK Hadi Purnomo kepada Ketua DPR Marzuki Alie serta Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, Pramono Anung Wibowo, Anis Matta, dan Taufik Kurniawan.
Dalam laporannya tersebut, Hadi menjelaskan, audit forensik ini merupakan tindak lanjut dari audit investigasi yang dilakukan BPK sebelumnya. Audit forensik bertujuan untuk menemukan transaksi-transaksi tidak wajar atau transaksi yang merugikan negara dan masyarakat selama proses bailout Century. "Hasil audit investigasi ini merupakan satu kesatuan dan merupakan tindak lanjut LHP BPK sebelumnya," katanya.
BPK, imbuh dia, setidaknya menemukan 13 temuan transaksi tidak wajar di Bank Century, baik sebelum maupun sesudah diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Temuan BPK yang pertama, yakni dana hasil penjualan SSB US Treasury Strips (UTS) Bank Century 29.77 juta dolar AS digelapkan perusahaan berinisial FGAH milik HAW dan RAR.
Selanjutnya, hasil penjualam UTS sebesar 41 juta dolar AS dengan nilai bersih 38.86 juta dolar AS diantaranya sebesar 30.28 juta dolar AS tidak diterima Bank Century, karena menurut DBSL jumlah tersebut dijadikan jaminan kredit FGAH di DBSL. Selanjutnya jaminan tersebut dicairkan untuk melunasi kredit FGAH sebesar 29.77 juta dolar AS, sedangkan sisanya sebesar 51 juta dolar AS ditransfer ke rekening Bank Century di Standard Chartered New York.
BPK berkesimpulan bahwa patut diduga telah terjadi penggelapan hasil penjualan US Treasury Strips (UTS) yang menjadi hak Bank Century sebesar 29.77 juta dolar AS oleh HAW dan RAR sebagai pemilik FGAH, yang merugikan Bank Century dan membebani PMS (Penyertaan Modal Sementara).
Sedangkan temuan BPK yang kedua, yakni transaksi pengalihan dana hasil penjualan SSB US Tasury Strips (UTS) Bank Century (BC) sebesar USD 7 juta dijadikan deposito PT AI. Hasil penjualan UTS diantaranya sebesar USD 7 juta ditransfer ke rekening BC di Standard Chartered Bank, New York. Selanjutnya dana sebesar USD 7 juta tersebut ditransfer menjadi deposito PT AI di BC atas perintah DHI.
Kemudian, PT AI dana tersebut, ditambah dengan deposito lainnya milik PT AI pada BC sebesar 5.5 juta dolar AS, dijadikan jaminan atas kredit PT AI di BC sebesar Rp 128 miliar. Kredit tersebut selanjutnya dilunasi PT AI dengan cara mencairkan deposito-deposito yang dijadikan jaminan kredit tersebut.
BPK berkesimpulam bahwa pengalihan dana hasil penjualan SSB oleh DHI menjadi deposito PT AI di BC sebesar USD 7 juta tidak wajar karena diduga tidak ada transaksi yang mendasarinya dan merugikan BC yang pada akhirnya membebani PMS (Penyertaan Modal Sementara) negara.(inc/rob)
|