JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menyatakan bahwa berbagai keputusan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) tidak sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Salah satu contoh nyata adalah Surat Edaran Nomor 177/BRTI/X/2011 tertanggal 14 Oktober 2011 yang telah melanggar prinsip akuntabilitas.
BRTI telah melakukan penyimpangan terkait keluarnya surat edaran tersebut. "BRTI itu hanya dapat mengeluarkan produk peraturan yang sifatnya perintah dalam bentuk keputusan direktur jenderal, sehingga produk surat edaran tersebut tidak punya dasar hukum yang kuat dan tidak memenuhi syarat formal," kata Ketua Mastel Setyanto P Santosa dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panja Pencurian Pulsa Kimisi I DPR di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (5/12).
Dalam pelaksanaan prinsip independen dan profesional, lanjut dia, BRTI tidak meninjau persoalan secara netral dan tidak memberi perhatian kepada pihak-pihak yang terkena dampak secara seimbang. "BRTI tidak mendefinisikan secara jelas hal-hal yang mau diawasi. Definisinya selalu berubah-ubah itu bisa mematikan bisnis penyedia konten lain," ujar Setyanto, seperti dilansir Jurnal Parlemen.
BRTI, lanjut dia, juga tidak transparan pada semua pemangku kepentingan. Sejak awal diterbitkan dan kemudian direvisi, peraturan menteri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penyelenggara jasa SMS premium, tidak pernah melibatkan penyelenggara. "Penyelenggara pesan premium hanya dilibatkan pada saat evaluasi," ujar Setyanto.
Seperi diberitakan sebelumnya, maraknya pencurian pulsa akhirnya mendorong BRTI untuk mengeluarkan kebijakan strategis dengan menghentikan layanan broadcast melalui pesan singkat atau short message service (SMS). Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 177/BRTI/X/2011 tertanggal 14 Oktober 2011.(jpc/rob)
|