JAKARTA, Berita HUKUM - Peraturan tentang pembagian dana hasil cukai tembakau tidak memberikan keadilan bagi petani. Aturan yang ada pun lebih diarahkan untuk mematikan industri hasil tembakau.
Hal itu diungkapkan Gugun El Guyani, peneliti dari Indonesia Berdikari, di Jakarta, Sabtu (15/6). Dikatakan, penelitian tentang karut marut hukum dan implementasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil tembakau di Indonesia menunjukkan ketidakadilan berawal dari UU 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU 11 Tahun 1995 tentang Cukai, dan semakin nyata dalam Peraturan Menteri Keuangan atau PMK No.84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil tembakau dan Sanksi atas Penyalahgunaan Alokasi DBHCHT.
Menurut Gugun, dalam UU dana cukai yang dikembalikan ke daerah hanya sebesar 2% saja. Sisanya 98% diambil oleh pemerintah pusat. Sementara nilai cukai tahun lalu saja sebesar Rp 84 triliun, jumlah yang sangat besar.
“Tidak ada penjelasan hukum dalam UU itu mengapa dana yang dikembalikan hanya 2%,” katanya.
Distribusi dan pemanfaatan dana hasil cukai di daerah sangat timpang bagi kepentingan petani tembakau. Penelitian dilakukan di lima propinsi terbesar penerima cukai yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Jawa Barat dan DI Yogyakarta. Hampir semua daerah, lebih 60% dana cukai dipakai untuk Program Lingkungan Sosial, yaitu program yang berorientasi kesehatan.
“Kalaupun program kesehatan itu yang berkaitan dengan rokok, masih masuk akal. Tapi di sejumlah daerah, dana itu dipakai untuk Program KB atau Program HIV/AIDS yang tidak ada hubungannya dengan tembakau. Sementara yang diterima oleh petani hampir tidak ada,” jelasnya.
Nurtantio Wisnubrata, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia APTI Jawa Tengah, mengatakan pada 2004 petani tembakau pernah meminta agar ada dana DBHCHT itu kembali ke petani. Namun begitu keluar Peraturan Menteri Keuangan 84/2008 itu, harapan petani buyar.
Kalaupun ada peruntukan dana cukai untuk pengembangan kualitas bahan baku, nyatanya program yang diadakan oleh Dinas-dinas Perkebunan di daerah lebih mendorong petani untuk beralih tanaman atau diversifikasi. Misalnya lewat program penyediaan bibit kakao, kopi, dan tanaman lainnya.“Bahkan ada juga dana hasil cukai yang diselewengkan menjadi dana aspirasi anggota DPRD,” kata Wisnu.
Salah satu peruntukan dana cukai adalah untuk pembinaan industri tembakau. Nyatanya, lanjut Wisnu, di Kudus dibuat program sistematis. Untuk mengalihkan buruh pabrik rokok ke pelatihan menjahit, memasak, dan salon kecantikan. “Agar ke depan tidak lagi jadi buruh pabrik rokok. Padahal Kabupaten Kudus mendapat alokasi terbesar untuk Jawa Timur yaitu Rp 70,3 miliar,” kata Wisnubrata.
Lemahnya Pengawasan Berpotensi KorupsiTerkait dengan adanya penyelewengan pemanfaatan DBHCHT, peneliti PUKAT UGM Hifdzil Alim yang tergabung dalam tim penelitian Cukai Tembakau ini mengatakan, potensi penyelewengan sudah muncul pada aturan induknya, yaitu ketidakjelasan UU Cukai dan PMK 84/2008. “Dalam aturan itu, terkait soal pengawasan, harusnya semua aktor pengawasan masuk. Tapi yang leading hanya Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan. Kalau bicara tembakau, seharusnya ada Kementerian Pertanian, ada Perkebunan, bahkan Perdagangan yang masuk di sini,” kata Hifdzil Alim.
Lebih jauh, dalam aturan itu, sisi pengawasan ternyata sangat lemah sehingga menimbulkan corruption by design. Misalnya soal sangsi penyalahgunaan DBHCHT yang hanya berupa penangguhan pencairan DBHCHT, tapi tidak ada sanksi hukum.(dry/ipb/bhc/opn) |