JAKARTA, Berita HUKUM - Proses persidangan dugaan kasus suap proyek pengadaan satelit monitoring dan drone di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dengan tersangka Fayakhun Andriadi mencengangkan publik karena muncul saat persidangan, Terdakwa Fayakhun mengaku dikenalkan oleh Ali Fahmi kepada keluarga Presiden Joko Widodo ketika sedang mengawal anggaran proyek Bakamla tersebut.
Politisi Golkar itu menjelaskan, menurut Fayakhun, pada tahun 2016 silam, politikus PDIP sekaligus staf Kepala Bakamla yakni Ali Fahmi alias Ali Habsyi mengajaknya bertemu di Hotel Grand Mahakam, Jakarta, karena pertemuan itu dianggap cukup penting.
Dia menjelaskan, setibanya di lokasi tempat bertemu, Habsyi sudah duduk bersama tiga orang yang kemudian dikenalkan Habsyi sebagai keluarga Jokowi.
Dalam pertemuan tersebut, Fahmi meminta dukungan dirinya dalam pengadaan barang di Bakamla. Fahmi bahkan mengklaim proyek pengadaan barang tersebut didukung oleh pemerintah.
"Saya duduk kemudian dikenalkan ini Kun kita harus bantu Bakamla untuk menjadi besar karena ada di laut dan kita dibantu kekuasaan untuk itu. Kemudian dikenalkan tiga orang katanya dari keluarga Solo, om nya Pak Jokowi, adik Pak Jokowi, dan paman Pak Jokowi," ujar Fayakhun saat menjalani sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (17/10).
"Kamu jangan ragu sama kita-kita, ini sudah perhatian kita semua," imbuhnya menirukan pernyataan Habsyi.
Diketahui Fayakhun Andriadi didakwa menerima suap USD 911.480,00 terkait pengadaan alat satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Dia diduga mengupayakan agar ada penambahan alokasi anggaran untuk Bakamla pada APBN Perubahan tahun 2016.
Dari pengadaan proyek tersebut, Fayakhun mematok jatah untuknya sebesar tujuh persen dari nilai proyek sebesar Rp 850 miliar. Fayakhun kemudian meminta anak buah Fahmi Darmawansyah, pemilik PT Merial Esa atau Melati Technofo pemenang proyek pengadaan alat satmon, bernama M Adami Okta merealisasi satu persen terlebih dahulu.
Realisasi 1 persen pun dilakukan Fahmi beberapa tahap sehingga mencapai USD 911.480,00.
Atas perbuatannya Fayakhun didakwa telah melanggar Pasal 12 a atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1990 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Lalu mengapa Keluarga Jokowi yang disebut Fayakhun belum bisa diusut oleh KPK? Ternyata ada satu orang yang menghalanginya.
Orang tersebut adalah Fahmi sendiri. Pasalnya KPK kehilangan Fahmi yang saat ini berstatus sebagai saksi kasus suap pengurusan anggaran proyek Bakamla.
Bahkan KPK sudah beberapa kali memanggil dan mencari politikus PDIP tersebut meskipun tetap tidak berhasil.
"Sudah beberapa kali saksi Ali Fahmi kami panggil namun tak pernah datang, kami datangi ke rumahnya juga tidak ditemukan. Jadi memang belum ada petunjuk lain terkait dengan siapa, ada atau tidak ada orang yang dimaksud," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (18/10).
Padahal, keterangan Fahmi dinilai oleh KPK sangat penting. Pengakuan Fayakhun tentang keluarga Jokowi sendiri akan sulit untuk dibuktikan tanpa keterangan dari Fahmi.
"Saya cek ke tim yang menangani, sebenarnya itu sudah muncul sejak proses penyidikan ketika Fayakhun diperiksa pada saat itu. Namun yang bersangkutan tidak menyebut nama orang yang dikatakan memperkenalkan tersebut, karena dengan alasan lupa dan pihak lain yang disebutkan oleh Fayakhun pun itu masih dalam proses pencarian KPK," jelasnya.
Sementara, Anggota Komisi I DPR non-aktif dari fraksi Partai Golkar Fayakhun Andriadi mengungkapkan aliran uang yang mengalir kepada para petinggi Golkar yang berasal dari proyek pengawalan anggaran Badan Keamanan Laut (Bakamla).
"Saya akui terima Rp12 miliar, uang itu sudah habis saya pakai, saya serahkan 450 ribu dolar Singapura dan nombok 50 ribu dolar Singapura biar dibulatkan menjadi 500 ribu dolar Singapura untuk Pak Novanto," kata Fayakhun dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Fayakhun dalam perkara ini didakwa menerima suap 911.480 dolar AS dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah untuk pengadaan satelit monitoring dan "drone" dalam anggaran Bakamla APBN Perubahan 2016.
Fayakhun mengakui menerima Rp12 miliar dari Direktur PT Rohde and and Schawrz Indonesia Erwin Arief yang ingin membantunya untuk menjadi ketua DPP Golkar Jakarta, namun belakangan Fayakhun mengetahui uang itu berasal dari pengusaha Fahmi Darmawansyah agar memenangkan perusahaan PT Merial Esa sebagai penyedia satelite monitoring dan "drone" di Bakamla.
"Ada pun saya mengembalikan ke KPK Rp2 miliar itu iktikad saya karena saya mengajukan 'justice collaborator'. Kalau saya merugikan negara, saya tidak mau. Saya menyesali perbuatan saya," ungkap Fayakhun.
Uang untuk mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto senilai 500 ribu dolar Singapura itu bila dikonversi adalah senilai Rp2 miliar, sedangkan Rp10 miliar lain diberikan kepada petinggi Partai Golkar lain.
"Ada uang ke Sekjen Golkar Idrus Marham, semua ada nama di sini saya sudah menghubungi orang-orang itu melalui orang dan saya imbau untuk mengembalikan tapi mereka tidak mau mengembalikan. Mereka mengakui menerima uang tetapi tidak mau mengembalikan, kecuali Yorrys Raweyai dan Idrus Marham tidak mengakui menerima uang," tambah Fayakhun.
Fayakhun mengaku bahwa Idrus Marham yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar dan Yorrys Raweyai yang saat itu menjabat sebagai Ketua Koordinator Bidang Politik dan Hukum DPP Partai Golkar menerima masing-masing 100 ribu dolar Singapura.
"(Diberikan) dari tangan saya, 100 ribu dolar Singapura ke 3 orang itu dari saya langsung," ungkap Fayakhun.
Selain Idrus dan Yorrys, Fayakhun juga menyebut nama Ketua Golkar DPD Jakarta Utara Olsu Babay dan Ketua Golkar DPD Kepulauan Seribu Sugandhi Bakrie.
"Tidak ada uang ke DPR karena memang untuk kepentingan politik saya, tapi memang untuk mengumpulkan (uang itu) tidak mudah. Saya kumpulkan tidak berhasil cuma menunggu keputusan pengadilan kalau dibebankan, saya siap menanggung," tambah Fayakhun.
Dalam daftar yang diserahkan Fayakhun tertulis bahwa Ketua DPD Golkar Jakarta Utara menerima Rp500 juta yang diserahkan oleh Sekretaris DPD Golkar DKI Jakarta Basri Baco sebesar Rp500 juta secara bertahap, Olsu kembali menerima Rp200 juta yang diserahkan langsung oleh Fayakhun, selanjutnya Sughandie Bakrie menerima Rp500 juta yang diserahkan Basri Baco secara bertahap, Idrus Marham mendapat 100 ribu dolar Singapura diserahkan langsung oleh Fayakhun dan Yorrys Raweyai mendapat 100 ribu dolar Singapura yang diserahkan langsung oleh Fayakhun.
Daftar itu juga menyebutkan berdasarkan keterangan anak buah Fayakhun, Agus Gunawan dan pemilik "money changer" Lie Ketty, uang rupiah dan dolar Singapura yang diambil Agus dari Lie Ketty secara bertahap adalah Rp1 miliar (24 Mei 2016), Rp1 miliar (26 Mei 2016), Rp1,2 miliar (27 Mei 2016), 750 ribu dolar Singapura (30 Mei 2016) sehingga pengeluaran untuk musda Golkar masih ada sisa Rp25 juta dan 450 ribu dolar Singapura yang selanjutnya dibulatkan oleh Fayakhun untuk dserahkan ke Setya Novanto melalui Agus Gunawan dan dititpkan kepada keponakan Setnov, Irvanto Pambudi Cahyo.
Dalam dakwaan, Fayakhun disebut menerima "fee" dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah sebesar 300 ribu dolar AS yang pengirimannya dipecah menjadi dua yaitu pertama 200 ribu dolar AS melalui Hangzhou Hangzhong Plastic Co.Ltd dan 100 ribu dolar AS melalui Guangzhou Ruiqi Oxford Cloth Co.Ltd pada 9 Mei 2016.
Selanjutnya Fayakhun juga menerima "fee" dari Fahmi melalui rekening Omega Capital Aviation Limited di Bank UBS Singapura sebesar 110 dolar AS dan Abu Djaja Bunjamin di Bank OCBC Singapura sebesar 490 ribu dolar AS pada 23 Mei 2016 yang dikirim dari rekening Bank BNI atas nama Fahmi Darmawansyah.
Atas perbuatannya itu Fayakhun didakwa dengan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.(dbs/ant/fin/mdk/jitunews/inews/bh/sya)
|