JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Bupati Subang nonaktif Eep Hidayat bersama massa pendukungnya menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Senin (27/2). Hal ini dilakukannya untuk mempermasalahkan penolakan kasasinya oleh lembaga peradilan tertinggi itu. Bahkan, ia tak mau menjalani bui, meski putusan kasasi itu telah diputus.
"Kami ke sini ingin menanyakan terkait putusan MA yang membatalkan putusan bebas pengadilan terdahulu. Bagi kami itu inkonsisten seharusnya jika telah ditetapkan vonis bebas, tidak boleh dikasasikan," kata Eep Hidayat di ratusan pendukungnya yang sebagian besar merupakan pegawai jajaran Pemkab Subang tersebut.
Politisi PDIP tersebut nampak lantang berorasi. Dia mengaku sebagai tumbal politik semata. Sebab banyak kasus korupsi yang nilai kerugian negara sangat besar tetapi tidak ditindak oleh aparat hukum. "BPKP bilang tidak ada yang dirugikan oleh saya. Saya ini hanya korban pengalihan hukum, kasus triliun rupiah di proses setengah hati. Yang kecil ditahan-tahan, yang besar dilepas-lepas," ungkap Eep.
Setelah beberapa lama beraorasi, terpidana Eep Hidayat bersama delapan orang perwakilan dalam aksi demonstrasi ini diterima pejabat MA. Delapan orang tersebut terdiri dari Wakil Bupati Ojang Sohandi, sekretaris daerah, asisten dan sebagian kepala dinas, serta Ketua DPRD Subang, Atin Supriatin.
Koordinator bidang hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah mengatakan bahwa putusan MA yang memvonis Bupati Subang Eep Hidayat atas tindak pidana korupsi dapat meluas pada kepala daerah lainnya. Pasalnya, kasus yang terjadi di Subang merupakan korupsi kebijakan yang sistematis.
Menurut, inti dari korupsi upah pungut di Subang ini diawali dari penerbitan SK Bupati No 973 Tahun 2005. Aturan tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni UU Nomor 32/2004 tentang Pemda dan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan. Padahal, melalui aturan tersebut, sudah jelas pembagian hasil pajak bumi dan bangunan dengan pusat, serta biaya operasional riil yang harus dikeluarkan.
"Pemerintah daerah dapat 90 persen dan (pemerintah) pusat 10 persen. Alokasi biaya pemungutan 9 persen dari pendapatan pemda itu. Jadi yang disalahgunakan ini sembilan persen. Seharusnya, biaya operasional pemungutan diatur lewat surat Kepmenkeu atau PP, bukan Bupati yang bikin SK. Harusnya sembilan persen itu untuk biaya operasional pemungutan di lapangan, bukannya uang yang harus diterima bupati, wakil bupati, sekda, dan kadispenda," jelas dia.
Menariknya, kasus seperti ini berpotensi terjadi di daerah-daerah lainnya. Kasus korupsi kebijakan ini harus bisa dikembangkan jaksa-jaksa di daerah. Apalagi sudah ada presedennya. "Jadi ini korupsi kebijakan. Seolah-olah itu benar, tapi ternyata itu melanggar yang lebih tinggi, negara dirugikan. Itu nantinya bisa se-Indonesia," kata Febri.
Bahkan anggota DPR atau menteri sekalipun yang menjabat pada periode 2000 ke atas bisa terkena tuntutan yang sama dengan Bupati Subang. "Apalagi, kalau ada beberapa daerah yang muncul karena sudah ada presedennya. Banyak mantan kepala daerah (yang menjadi menteri atau anggota dewan) bisa terjerat. Dan mereka sudah tidak bisa siap-siap," jelas Febri.
Sebelumnya diberitakan, majelis hakim agung yang diketuai Artidjo Alkostar mengabulkan permohonan kasasi jaksa dengan menjatuhkan vonis bersalah terhadap Bupati Subang nonaktif Eep Hidayat. MA juga menvonis bupati ini dengan hukuman penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain itu, dia juga wajib mengembalikan uang negara Rp 2,548 miliar.(dbs/wmr/spr)
|