JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang lanjutan tentang pengujian Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (21/11). Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 90/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (DPP FISBI).
Dalam sidang tersebut, Pemohon menghadirkan seorang saksi, bernama Romlah. Romlah merupakan seorang buruh dengan penghasilan Rp 1,5 juta per bulan. Dalam keterangannya, Romlah mengungkapkan ia sudah bekerja selama 12 tahun dan memiliki 3 orang anak yang harus ia biayai sendiri. Begitu ditanya mengenai kecukupan gajinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Kalau hanya mengandalkan gaji tidak cukup. Saya kadang jualan gorengan dan memungut botol mineral bekas,” jelasnya.
Romlah pun menjelaskan semua itu dilakukannya demi menyelesaikan pendidikan anak-anaknya. Dituturkan pula oleh Romlah, ia mempunyai anak yang duduk di bangku SMK dan SD. “Untuk dua anak, 450 ribu, saya tidak bisa menabung ada juga saya nombok. Ada program kesehatan dari klinik perusahaan. Banyak orang Indonesia seperti saya, banyak yang berpikir bagaimana caranya tetap menyekolahkan anak agar minimal anak saya bisa lulus SMA,” paparnya.
Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dengan didampingi hakim konstitusi lainnyakemudian menjelaskan bahwa kesimpulan dari semua pihak paling lambat 28 November 2012. ”Kesimpulan paling lambat diterima Kepaniteraan MK pada 28 November 2012 pada pukul 16.00 WIB,” ujarnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan kewajiban tenaga kerja yang turut menanggung iuran (premi) jaminan kesehatan dalam pasal 27 ayat (1) UU SJSN berpotensi bertentangan dengan pasal 28D ayat (1), ayat (2), pasal 28H ayat (1), ayat (3) UUD 1945. Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VIII/2010 dan putusan No. 51/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi tidak menyebutkan mengenai siapa saja orang/badan yang mampu untuk membayar premi selain negara. Selain itu, tidak adanya keadilan apabila pemohon yg memiliki upah minimum 2 juta per bulan, disamakan dengan yang mendapatkan upah minimum 5 juta perbulan. Atas dasar keadilan dan prinsip gotong-royong dalam UU tersebut, sepanjang frasa haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat, dan harus dimaknai batas besaran 2 (dua) kali pendapatan tidak kena pajak, agar pekerja penerima upah minimum di berikan keleluasaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Pasal 27 ayat (1) UU SJSN sepanjang frasa “ bersama oleh pekerja”, haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (las/mh/mk/bhc/sya) |