*Kualitas Perencanaan Pengaruhi Proses Pembahasan
dan Substansi Rancangan Undang-Undang
PENGANTAR.
Sejak 2003, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) rutin menerbitkan Catatan Awal Tahun (Cawahu) yang memuat secara komprehensif evaluasi kinerja legislasi DPR. Saat ini, kami masih memproses Cawahu untuk 2012, yang direncanakan akan diluncurkan sekitar akhir Maret 2013. Namun sebagai pendahuluan, PSHK akan mempublikasikan lebih dulu versi narasi singkat Cawahu 2012. Secara umum, catatan dan evaluasi kinerja legislasi 2012 mengulas 3 (tiga) hal yaitu, perencanaan legislasi yang bermasalah, beberapa RUU kontroversial yang mengancam kebebasan dan demokrasi, dan maraknya pembentukan wilayah baru.
Setidaknya dalam dua tahun terakhir, PSHK semakin memposisikan diri untuk lebih mencermati kinerja legislasi dari aspek kualitas ketimbang aspek kuantitas. Namun, tanpa mengurangi arti capaian kuantitas, Cawahu 2012 akan menyajikan data kuantitatif legislasi dan pembidangannya (terlampir).
CAPAIAN KUANTITAS.
Pada 2012, DPR dan Pemerintah menyelesaikan pembahasan 30 RUU menjadi UU. Berdasarkan nomor urut, secara keseluruhan ada 32 UU. Namun, dua UU pertama, yaitu UU No 1 Tahun 2012 tentang Pengesahan Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir dan UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disahkan pada 2011.
Capaian 30 UU itu merupakan jumlah terbanyak apabila dibandingkan dengan dua tahun terakhir, yaitu 16 UU pada 2010 dan 24 UU pada 2011. Dari sudut pandang perencanaan, capaian 2012 masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya yang tidak pernah mencapai target Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Jumlah target UU yang disahkan pada 2012 adalah 69 UU, sehingga ada selisih sebanyak 39 UU yang tidak terealisasikan.
Menurut kami, sistem perencanaan legislasi melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang sekarang digunakan oleh DPR dan Pemerintah berpotensi besar menghasilkan kegagalan capaian dari aspek kuantitas. Dengan kata lain, Pemerintah maupun DPR masih terjebak dalam situasi yang menyebabkan mereka secara rutin gagal mencapai target, prioritas tahunan; karena desain Prolegnas yang tidak mampu mengestimasikan kapasitas dan beban kerja kedua belah pihak.
KUALITAS PERENCANAAN LEGISLASI.
Penilaian terhadap kualitas undang-undang tertuju pada dua wilayah, yaitu proses dan substansi (rancangan) undang. Kualitas proses bisa diperiksa sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga pengesahan; sementara kualitas substansi dilihat dari bacaan terhadap Naskah Akademik (NA), tujuan pengaturan, pengaruh terhadap pemangku kepentingan (stakeholders) dan prinsip-prinsip dasar (seperti HAM, konstitusi, peraturan terkait, lingkungan, gender, dll), beban keuangan hingga hal-hal teknis berupa struktur penulisan dan kalimat perundang-undangan
Berdasarkan pemantauan selama 2012, PSHK menemukan bahwa proses yang ada pada tahap perencanaan sangat mempengaruhi pola pembahasan dan substansi rancangan undang-undang. Temuan ini menjadi bahan penilaian PSHK bahwa desain Prolegnas yang bermasalah mengakibatkan pembahasan rancangan undang-undang menjadi berlarut-larut, karena tidak diawali dan dilengkapi dengan persiapan waktu dan bahan yang memadai. Selain itu, sejumlah perdebatan tentang teknis pembahasan maupun substansi RUU sebenarnya bisa diantisipasi seandainya Prolegnas hadir sebagai instrumen perencanaan yang sensitif terhadap kapasitas kelembagaan serta kemampuan mengolah aspirasi dan merespon dinamika.
5 FAKTA PENDUKUNG TEMUAN PSHK TERSEBUT:
1. Dalam Rapat Pleno Badan Legislasi (4 Desember 2012), fraksi-fraksi meminta penundaan pembahasan RUU Pilpres dengan alasan masih akan mengkaji dan mempertimbangkan kembali perlu tidaknya revisi UU Pilpres. Posisi fraksi-fraksi seperti ini seharusnya sudah bisa tegas disampaikan sebelum Prolegnas lima tahun atau prioritas tahunan ditetapkan.
2. Komisi VIII mengusulkan RUU Pengelolaan Ibadah Haji, sedangkan pemerintah mempersiapkan RUU Keuangan Haji; dua materi yang seharusnya cukup diatur dalam satu RUU. Namun, Prolegnas 2010-2014 mencantumkan keduanya secara terpisah. Akibatnya, potensi tumpang tindih sangat besar, seperti yang terjadi saat penyusunan RUU Perkoperasian dan RUU Lembaga Keuangan Mikro.
3. Khusus mengenai status RUU Keperawatan yang secara tata urutan seharusnya berada di belakang RUU Tenaga Kesehatan mengingat masukan Badan Legislasi yaitu Pertama, Pemerintah sudah menyampaikan RUU Tenaga Kesehatan kepada DPR melalui Surat Presiden No. R-75/Pres/00/2012 tanggal 24 September 2012. Kedua, Badan Legislasi mengingatkan bahwa UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan RUU Tenaga Kesehatan.
4. Seluruh fraksi di DPR menyetujui pembahasan RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan. Sedangkan Pemerintah beranggapan bahwa RUU dimaksud bertentangan dengan hukum internasional dan UUD 1945, termasuk juga UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia atau UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Perbedaan posisi ini menimbulkan pertanyaan, kenapa dulu saat penyusunan Prolegnas 2010-2014, RUU Percepatan Pembanguan Daerah Kepulauan (atau dengan nama lain RUU tentang Perlakuan Khusus Provinsi Kepulauan dengan nomor urut 152) masih tetap dicantumkan?
5. Dalam sebuah forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII pada Senin, 18 Juni 2012, Wakil Ketua Komisi VIII pernah menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) tidak pernah dibuat oleh Komisi VIII. Padahal tujuan RDPU itu sendiri diselenggarakan dalam rangka mendapatkan masukan atas RUU KKG plus RUU tersebut masuk dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas 2012.
Sikap pro dan kontra terhadap suatu rancangan undang-undang bukan menjadi sebuah kemunduran. Namun, melalui perencanaan yang baik, diskusi yang tercipta akan semakin bemutu kualitasnya sehingga meningkatkan mutu undang-undang. Langkah ini yang seharusnya bisa diberlakukan untuk jenis rancangan undang-undang dengan polarisasi kepentingan yang cukup tajam seperti RUU Aparatur Sipil Negara, atau yang kontroversial dengan tingkat resistensi publik yang tinggi, seperti RUU Keamanan Nasional, RUU Ormas, dan RUU KPK.
Perencanaan legislasi berpeluang untuk memfasilitasi dan membahas urgensi kenapa perlu pembentukan suatu lembaga atau badan baru berdasarkan undang-undang. Fenomena undang-undang baru menghasilkan pembentukan lembaga baru sudah kami angkat di Cawahu 2011 dan praktek ini berlanjut di 2012. Tersisa beberapa rancangan undang-undang yang menghendaki adanya lembaga atau badan baru, seperti RUU Jaminan Produk Halal, RUU Perlindungan dan Pencegahan Pembalakan Liar, dan RUU Aparatur Sipil Negara.
Selain kualitas perencanaan yang bermasalah, baik DPR dan Pemerintah masih memperlihatkan koordinasi internal yang lemah yang berdampak pada terganggunya proses pembicaraan tingkat I. Contoh lemahnya koordinasi tersebut antara lain:
a. Pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran yang berlangsung lama, bahkan sempat mengalami penundaan dari April hingga berakhirnya Masa Sidang II (Desember 2012), ternyata disebabkan juga oleh hal teknis, yaitu koordinasi di internal DPR maupun Pemerintah yang lemah. Awalnya, RUU Pendidikan Kedokteran dibahas oleh Komisi X. Belakangan setelah sekian lama dibahas, Komisi IX ingin turut terlibat. Di sisi Pemerintah, kelambanan terjadi karena Presiden SBY belum mendapatkan laporan yang memadai dari wakil Pemerintah yang ditugaskan membahas RUU tersebut.
b. Komitmen penyelesaian DIM masih lemah, baik di internal DPR maupun Pemerintah. Tidak ditentukannya batas waktu penyerahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh fraksi-fraksi di DPR turut berkontribusi terhadap belum mulainya pembahasan RUU Pemilukada. Dari sisi Pemerintah, kelambanan penyerahan DIM terjadi pada RUU Perlindungan Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, sebagai pengganti UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Meskipun sudah ada Surat Presiden pada 2 Agustus 2012, namun hingga 17 September 2012, DIM tersebut belum diserahkan juga oleh Pemerintah. Situasi yang kurang lebih sama terjadi pula pada RUU Perubahan UU No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Keberadaan Prolegnas seharusnya dapat menjadi peta kebijakan sekaligus politik legislasi DPR dan Pemerintah. Oleh karena itu, perencanaan legislasi melalui Prolegnas memerlukan koridor waktu dan sumber daya yang memadai. Dalam narasi pendahuluan Cawahu 2012 ini, PSHK menyampaikan sejumlah catatan antara lain:
1. Desain ulang Prolegnas adalah suatu kebutuhan untuk memulai sebagian upaya memperbaiki kualitas proses maupun substansi (rancangan) undang-undang. Jika tidak, DPR dan Pemerintah hanya akan mengulang kesalahan tanpa upaya menuntaskan akar permasalahan.
2. Perketat penerapan syarat dari suatu rancangan undang-undang untuk masuk dalam daftar Prolegnas, sehingga bisa dipastikan suatu rancangan undang-undang telah memiliki naskah akademik dan draf RUU ketika ditetapkan sebagai RUU prioritas tahun tertentu.
3. Pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan Pemerintah cukup berada dalam tataran isu-isu besar, untuk menyepakati arah kebijakan pengaturan dalam suatu rancangan undang-undang. Dengan demikian, pembahasan antara DPR dan Pemerintah tidak terjebak dalam titik koma perumusan pasal, yang sudah seharusnya menjadi bagian dari pekerjaan perancang peraturan di DPR dan Pemerintah. (bhc/rat/rls)
|