JAKARTA, Berita HUKUM - Perkembangan dunia media sosial sangat luar biasa pesat. Seseorang yang baik bisa dibuat jelek untuk mempengaruhi masyarakat. Kecendrungan pemanfaatan medsos sudah kebablasan dan tidak boleh dibiarkan.
Namun, untuk menjerat pelaku yang memanfaatkan medsos untuk hal negatif, terutama menjelang Pilkada 2017, Polisi tetap berpedoman kepada Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015.
"Surat Edaran Kapolri itu bersifat internal dan dijadikan pedoman menghadapi penyalahgunaan medsos untuk hal negatif pada Pilkada," kata Kabag Penum Mabes Polri, Kombes Rikwanto, pada Dialektika Demokrasi bertema "Awas Sanksi Tegas Incar Penggiat Medsos di Pilkada 20127" di ruang Media Center DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/9).
Menurut dia, penyalahgunaan medsos selama ini tidak saja untuk hatespeech (ujaran kebencian), tetapi juga SARA, orang cacat, warna kulit dan sebagainya.
"Semuanya itu kita pertimbangan. Tapi aparat terlebih dahulu melakukan pendekatan mediasi, apakah pelanggaran hukum, berlanjut atau tidak, apa tujuannya, untuk menjatuhkan lawan?" katanya.
Kalau merujuk kepada hukum positif sudah diatur dalam pasal 310 dan 311 KUHP dan pasal 27 dan 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang ancamannya 6 tahun penjara. Namun, Polri dengan "Cyber Patrol" akan melacak dan menindak tegas penyebar kebencian dalam medsos tersebut walau menggunakan nama samaran sekali pun.
"Prinsipnya Polri siap mengawal Pilkada serentak di seluruh Indonesia, agar tidak terjadi kerusuhan dan konflik sosial. Hanya saja kalau ada pihak-pihak yang diragukan akan masuk ke delik aduan. Baik diadukan oleh yang bersangkutan maupun orang lain (pengacara, tim sukses dll)," tambah Rikwanto.
Hal itu dikarenakan dampak medsos itu luar biasa. Bisa mempengaruhi ribuan dan jutaan orang lain. Praktis dan tidak perlu lagi mengerahkan masyarakat ke lapangan seperti dulu. Tapi, cukup dengan medsos. Hanya saja dalam perkembangannya kebablasan.
"Isinya menyudutkan, menyebarkan kebencian, fitnah, untuk menjatuhkan orang lain, dan sebagainya. Kalau itu dibiarkan, maka akan memicu konflik dan kerusuhan sosial. Karena itu, perlu pengawasan agar demokrasi ini lebih bermartabat," demikian Rikwanto.(hg/zul/rmol/bh/sya) |