JAKARTA, Berita HUKUM - Baru satu tahun berdiri, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sudah memecat 55 pejabat penyelenggara Pemilu di daerah.
Menurut Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, kondisi tersebut menandakan bahwa ada banyak masalah penyelenggara Pemilu di daerah.
Sebab, kebanyakan para pejabat yang mengalami pemecatan selalu berkutat dipersoalkan independen.
"Untuk itu kita harus mendorong KPU dan Bawaslu memperbaiki diri. Sebanyak 55 pejabat yang pernah kami pecat itu karena adanya keberpihakan kepada salah satu calon. Soal tidak independen, imparsialitas, tidak bisa ditolerir," ujar Jimly saat berbincang dengan wartawan di Kantor DKPP, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (8/5).
Selain minimnya independensi, variabel lain dipecatnya pejabat penyelenggara pemilu di daerah, juga karena pemenuhan syarat menjadi pejabat sangat minimal sekali.
Lebih dari itu, persyaratan dan larangan menjadi Pejabat penyelenggara Pemilu daerah juga tidak terpenuhi. Kedua, karena memang kualitas pejabat yang tidak merata di seluruh Indonesia.
"Proses kelembagaan KPU belum tuntas. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, KPU itu kan lembaga yang bersifat nasional tetap dan mandiri. Satu kesatuan institusi mandiri sampai ketingkat bawah. Artinya dia tidak boleh terkait dengan pemerintah. Jadi dia harus berdiri sendiri strukturnya, tapi dalam impelementasinya pegawainya masih dari pemerintahan, nomor induk kepegawaian masih dari Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri)," tuturnya.
Sementara, semua birokrasi di daerah itu, menurut Jimly, juga mengalami politisasi, dimana rata-rata Kepala Dinas di daerah juga diam-diam menjadi tim sukses untuk incumbent.
"Kurang lebih 80 persen pejabat penyelenggara pemilu di daerah itu masih terpengaruh dengan suasana politisasi. Sedangkan staf dan pegawai penyelenggara pemilu administrasinya itu dari daerah dari lingkungan birokrasi pemerintah daerah, sehingga sebagian iklim kerjanya belum independen," pungkasnya.(bhc/riz) |