JAKARTA, Berita HUKUM - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang Pengujian UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Peradilan Pidana Anak) pada Kamis (10/1) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara dengan Nomor 110/PUU-X/2012 ini dimohonkan oleh Mohammad Saleh selaku Ketua Umum Ikatan Hakim.
Dalam sidang mendengar keterangan Pemerintah, DPR serta Saksi/Ahli Pemohon, Nurdiman Munir hadir mewakili DPR. Nurdiman mengemukakan bahwa UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, lanjut Nurdiman, adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghidari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
“Pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi tersebut tercermin dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 7 ayat (1) juncto Pasal 96 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Selanjutnya, Nurdiman menjelaskan Ketentuan Pasal 101 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, rumusannya, normanya tidak menyebutkan hakim yang dikenakan sanksi pidana akibat tidak dilaksanakannya kewajiban menyampaikan petikan dan salinan putusan. Melainkan, sambung Nurdiman, menyebutkan pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban menyampaikan petikan dan salinan putusan dikenai sanksi pidana.
“Oleh karenanya, DPR RI beranggapan ketentuan Pasal 101 undang-undang a quo rumusan normanya tidak terkait langsung dengan kerugian konstitusional Para Pemohon yang berprofesi sebagai hakim. DPR-RI berpandangan ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Sistem Peradilan Pidana Anak tidak bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” paparnya.
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili oleh Wahiduddin Alam menganggap Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. Terhadap ketentuan Pasal 101 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Pemerintah menjelaskan ketentuan Pasal 101 UU a quo dimaksudkan untuk pejabat pengadilan, bukan ditujukan kepada hakim. Pejabat pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada anak, atau advokat, atau pemberi bantuan hukum lainnya, pembimbing kemasyarakatan, dan penuntut umum.
“Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya kepastian hukum karena ada praktik ekstrak vonis (petikan putusan) seringkali tidak diberikan. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa anggapan terhadap ketentuan Pasal 101 Undang-Undang SPPA juncto Pasal 62 Undang-Undang SPPA ditujukan kepada hakim adalah tidak beralasan,” jelasnya.
Ahli Pemohon Bagir Manan menuturkan hakim tidak boleh sekali-kali memikul suatu konsekuensi seperti ancaman pidana dalam atau ketika menjalankan fungsi yudisialnya. Seperti ditulis oleh Frank Cross, lanjut Bagir, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan/atau kebebasan hakim bukanlah kemerdekaan atau kebebebasan tanpa batas. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim diartikan sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam proses yudisial yang salah satunya meliputi, hakim tidak boleh dikenakan suatu tindakan seperti penurunan pangkat, diberhentikan karena putusannya.
Para hakim, jelas Bagir, tidak tunduk pada apapun kecuali pada ketentuan-ketentuan hukum dan keadilan. Asas kekuasaan kehakiman merdeka merupakan salah satu capaian utama negara konstitusional modern yang berdasarkan hukum atau rechtsstaat.
“Hakim merdeka, dua makna. Pertama, tidak seorang pun khususnya pemerintah atau aparatur administrasi dapat mendikte hakim dalam memutus suatu perkara. Kedua, pelaksanaan fungsi yudisial tidak dapat dan tidak boleh menimbulkan atau mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi terhadap hakim yang bersangkutan,” urainya.(la/mk/bhc/opn) |