JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Hanya dengan dalih jawaban Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tidak memuaskan soal moratorium remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat bagi koruptor dan teroris, sejumlah anggota Komisi III DPR mengajukan hak interpelasi.
Sebanyak 25 anggota dari 56 anggota Komisi III DPR itu dinilai telah memenuhi kuorum, yakni 2/3 dari total anggota, untuk mengajukan hak interpelasi. Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Enam fraksi yang mengajukan itu dari Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, dan Hanura. "Menteri tidak menguasai persoalan teknis. Untuk itu kami tanyakan presiden, apa memahami dan memerintahkan menteri mengambil kebijakan ini. Atau sebaliknya, menteri jalan sendiri," kata anggota Komisi III DPR alasa Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo di gedung DPR, Jakarta, Kamis (8/12).
Sikap sejumlah anggota ini, merupakan kalanjutan dari perdebatan sengit antara anggota Komisi III denga Menkumham Amir Syamsuddin juga Wamenkumham Denny Indrayana. Dalam rapat dengar pendapat yang belangsung pukul 10.00 WIB hingga mendekati tengah malam, itu tidak membuahkan hasil.
RDP akhirnya disepakati dilanjutkan hari ini pukul 14.00 WIB dengan menghadirkan Wamenkumham Denny Indrayana. Namun, Wamenkumham berhalangan hadir, karena ada pekerjaan di kementeriannya. Dari situlah, Komisi III menggelar voting terkait pengajuan Interpelasi.
Menurut anggota Komisi III DPR asal Fraksi PPP Ahmad Yani, hak DPR meminta keterangan pemerintah itu diajukan karena tidak jelasnya alasan moratorium remisi koruptor. DPR dianganya berhak meminta penjelasan soal landasan-landasan hukum tentang kebijakan tersebut. “Jadi, 25 orang yang tanda tangan untuk menggunakan hak interplasi, sudah bisa,” ujar dia.
Komisi III DPR lantas membuat surat berisi alasan melakukan interplasi untuk meminta keterangan terhadap kebijakan pemerintah, khususnya Menkumham mengenai moratorium yang tertuang di dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Nomor PAS-HM.01.02-42 tertanggal 31 Oktober 2011.
SE Dirjen PAS itu berisi perihal Moratorium Pemberian Hak Narapidana Korupsi dan Terorisme yang tidak memiliki dasar hukum. Sekaligus melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni pasal 14 UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan serta Pasal 34, 36 dan 43 PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.(dbs/rob)
|