Oleh: Khairu Syukrillah
MASIH SANGAT hangat ingatan saya, ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) pada Zaman Orde Baru tepatnya, tentang mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau sering disingkat dengan PPKN yang didalamnya mengangkat tentang Pendidikan Moral dan Etika. Diawali dengan pertanyaan, apa itu moral? dengan keberanian saya menjawab, bahwa moral adalah hati, dan apa itu etika? etika adalah jiwa. Benar atau tidaknya pengertian dari jawaban tersebut tidaklah menjadi sebuah ukuran, bagi seorang guru. Namun menjadi sebuah pemikiran pada saat ini, apakah para elit politik memahami benar atau benar memahami apa itu moral dan apa itu etika? Sebuah keinginan besar rasanya untuk mendapatkan sebuah jawaban langsung dari para “elite” politik tersebut.
Tanggal 9 Juli lalu, kita telah melewati bersama pesta demokrasi (katanya) di negeri ini, sama-sama kita pilih Presiden Republik Indonesia yang hanya ada dua pasangan calon, siapa yang tak kenal pasangan Prabowo-Hatta, kemudian siapa yang tak kenal dengan pasangan Jokowi-Jk. Dengan harapan bersama, siapapun yang menang, bukanlah menjadi pemenang, namun bisa menjadi pemimpin yang didambakan oleh rakyat Indonesia saat ini. Hampir serentak seluruh TPS di Indonesia melakukan pemungutan suara, tak terkecuali di wilayah yang terpencil, sekalipun pulau terluar Indonesia. Dengan hak yang sama dan kedudukan yang sama, demi terciptanya Indonesia yang lebih baik dengan pemimpin yang baru.
Pasukan Quick Count dari masing-masing bendera lembaga survey politik juga tak luput untuk turut ambil bagian demi mensukseskan Pilpres (katanya) dengan gaya hitung cepat mereka, dengan gaya rumus hitung ilmiah, dengan gaya lainnya yang notabene memiliki katakter masing-masing dan berlandaskan “ketepatan data” yang misinya untuk membantu rakyat awam melihat hasil cepat Pilpres, yang menjadi tanda tanya besar yang bukan hanya bagi para kandidat. Namun ternyata diluar kendali, hasil hitung cepat masing-masing lembaga survey politik itu pun ternyata berbeda, dengan harapan mampu menjadi sebuah bayangan kemenangan bagi rakyat, ternyata malah menimbulkan kebingungan bagi si awam.
Masing-masing kubu saling klaim kemenangan, dengan hasil yang beda tipis dan tidak ada yang kalah alias menang semua dari persentase yang mereka peroleh. Ada kubu yang langsung “sujud syukur” karena merasa mendapatkan kemenangannya, ada juga kubu yang langsung ungkapkan “jiwa kepahlawanannya” dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya di tugu Proklamasi bak proklamator di era ‘kemerdekaan’ serta langsung rilis di media mereka. Timbul pertanyaan si awam, kemenangan yang mana? Dan kemenangan untuk siapa? Itulah realita yang terjadi pasca Pilpres kali ini.
Moralitas Berpolitik
Kita pahami bersama bahwa moralitas merupakan atribut yang melekat pada politik itu sendiri. Politik murni pada dasarnya mengandung keutamaan-keutamaan moral seperti kerendahan hati, keadilan, kejujuran, kebijaksanaan hingga kebenaran. Membangun moralitas dalam berpolitik berarti juga membangun etika dalam berdemokrasi. Semua lapisan masyarakat perlu mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku, tidak terkecuali siapapun dia (kandidat misalnya). Itulah esensi demokrasi, suatu kebebasan yang dipagari oleh etika dan perangkat hukum yang harus dipatuhi oleh semua orang, bukan kebebasan yang didasari dengan sebuah pembenaran dan mengkesampingkan kebenaran walaupun pahit.
Politik dalam demokrasi berujung pada masalah moral suatu bangsa. Kemerosotan demokrasi lebih banyak disebabkan oleh elite politik yang tidak memiliki integritas moral dan etika yang baik (degradasi moral), karena lebih dilandaskan oleh sebuah misi kekuasaan. Integritas moral dan akhlak bukan sekedar bermakna pada kehidupan pribadi elite politik, namun juga berkesesuaian dengan persetujuan publik.
Dalam hal ini tampaknya semua kandidat beserta elite politiknya masih harus belajar banyak apa itu moral dan etika, demi memahami kultur demokrasi bangsa timur. Inilah modal utama yang semestinya menjadi patron bagi para kandidat dan elitenya yang tidak layak untuk dilupakan atau pura-pura lupa dalam perjalanan demokrasi bangsa, agar ranah politik Indonesia kembali kepada fitrah' yang sesuai dengan jati diri bangsa, bukan ranah politik yang mengedepankan sebuah pembenaran dan mengesampingkan kebenaran. Jika proses menuju pemegang utama negeri ini sudah demikian piciknya, maka mau dibawa kemana negeri berpenduduk 360 juta jiwa lebih ini.
Kemana Politik Santun?
Mengutip statment Hannah Arendt (1958), setiap aktivitas politik yang berlangsung di ruang publik merupakan suatu upaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan melalui kata-kata dan persuasi (argumen untuk meyakinkan pihak lain), bukan melalui kekuatan dan kekerasan atau bahkan saling klaim kemenangan untuk saling menjatuhkan.
Persaingan menuju kursi Istana satu (RI 1) untuk menentukan kehidupan bangsa 5 tahun ke depan, semakin keras melaju bak rudal menghantam sasaran yang tak bisa dihentikan. Perseteruan antar kontestan semakin tak terhindarkan, beragam jurus dilakukan para elite tersebut untuk mengarahkan opini serta simpati rakyat, agar menentukan pilihan kebenaran kemenangan. Dimulai dengan mengandalkan hasil Quick Count' yang mereka rilis di media konvensional melalui berita, demi mendapat simpati dan keberpihakan rakyat bahwa mereka “menang”, hingga broadcast di media sosial juga turut ambil bagian. Saling sikut, saling menyalahkan, saling klaim, dan bila perlu mungkin saling X.
Inilah adegan politik yang dipertontonkan oleh para kandidat dan pendukungnya. Adegan politik yang mereka klaim seakan terlegitimasi dalam sistem demokrasi yang saat ini kita anut. Dinamika yang tampak menunjukkan adanya kenaikan eskalasi yang siginifikan. Berbagai manuver politik secara vulgar tanpa mengindahkan demokrasi yang bermoral mereka tampilkan. Kenyataan ini tidak saja membuat peta persaingan menjadi tidak sehat dan jauh dari kepantasan sebagaimana ciri dan budaya bangsa negeri ini. Sebab, citra kandidat tidak dibangun berdasarkan kemampuan diri, namun dengan cara menjatuhkan citra kandidat lain. Tentu saja kondisi ini tidak ideal untuk membangun demokrasi yang sehat dan jauh diluar dari etika dan norma moral yang ada.
Pilar demokrasi di negeri ini tidak dibangun dengan perilaku yang saling menjatuhkan, tetapi fondasi akhlak sebagai kultur asli bangsa ketimuran. Inilah yang seharusnya disadari oleh para kandidat beserta tim. Selayaknya tidak membuat program pemenangan Pilpres berdasarkan persaingan dengan memfitnah, serta menghalalkan segala cara. Di sini, etika berpolitik harus benar-benar dijaga, bahwa menarik simpati harus dilakukan dalam koridor etika yang santun dan berakhlak. Menjatuhkan dan memfitnah lawan politik di mata rakyat bukanlah solusi tepat untuk meraih simpati. Sebab, rakyat mampu menilai mana opini sesungguhnya dan mana opini yang dibangun dengan fitnah.
Jika politik merupakan aktifitas sintesis atau dengan kata lain untuk mengubah benturan dan kepentingan menjadi langkah kerja sama untuk melakukan hal-hal yang saling menguntungkan bagi semua pihak, maka moral dan etika sangat penting bagi perpolitikan di Indonesia yang sangat dikenal dengan santun bangsa ketimuran (menjunjung tatanan nilai moral dan norma dalam kehidupan).
Berpolitik tidak sekedar mencari kemenangan tim (kubu) namun harus lebih kepada pemikiran bagaimana bangsa ini maju dengan 360 juta jiwa lebih rakyatnya bisa sejahtera, ramah terhadap sesama, damai, tidak ada kekerasan serta sopan santun dalam kehidupan sehari-hari selalu dijunjung tinggi, seperti hakikatnya dalam bernegara yang baik.
Disinilah letak tanggungjawab kita bersama (akademisi, mahasiswa, tokoh masyarakat, sipil dan lain lain) untuk mengawal, mengingatkan serta bersama menjaga perdamaian yang berlandaskan pada etika moral politik yang baik, bukan rakyat yang hanya mampu diam tersaji ketika perdamaain telah digadaikan demi sebuah kekuasaan oleh para elite politik yang tidak bermoral.(ks/bhc/sya)
Penulis adalah alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh-Lhokseumawe, Peneliti DeRE-Indonesia dan Penikmat Media..
|