JAKARTA, Berita HUKUM - Film Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN) diproduksi dan beredar beberapa waktu lalu. Film yang disebut sebagai dokumenter ini, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Pemerintah sendiri disebut sempat memblokir film, saat siaran langsung untuk tayangan perdananya di YouTube.
Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Jakarta, Prof Dr Sukron Kamil mengatakan, film tersebut merupakan alat propaganda kelompok tertentu dibandingkan pemaparan fakta sejarah.
"Saya berkesimpulan film ini sebagai propaganda ketimbang sebagai sebuah realitas historis," kata dia dalam webinar 'Jejak Khilafah di Nusantara: Fakta Sejarah atau Propaganda?', yang digelar Yayasan Demokrasi Republikan, Sabtu (26/9/2020).
Sumber teks dalam cerita film disebut Sukron tak jelas. Pemerintahan dengan konsep khilafah sendiri, menurutnya sudah lama hilang, bahkan sebelum sampai ke Indonesia.
"Konsep Khilafah sebagai Satu kesatuan Islam jelas sudah hancur dari zaman dulu terakhir adalah masa Khalifah Ali, setelahnya adalah masa Dinasti Umayyah saja sudah jauh dari nilai-nilai Islam. Kalau paham Pancasila sendiri malahan sudah sesuai dengan kondisi multietnis di Indonesia," tutur Sukron.
"Hubungan Turki Usmani dengan Kerajaan-kerajaan di Nusantara yang disebut dalam film sebagai kerajaan vassal atau bawahan dari Turki Usmani juga tidak ada bukti sejarah sama sekali, hubungan yang tercatat hanya hubungan yang bersifat strategis dan dagang biasa selayaknya 2 (dua) negara yang sama berdaulat, tidak hanya dengan Turki tapi malah lebih banyak dengan tiongkok hingga Portugis" imbuhnya.
Sejarah yang disampaikan pada film dinilai Sukron tak memiliki dasar. Apa yang hendak dipesankan film JDKN, kata dia hanyalah sebuah propaganda. Demi tujuan tertentu, terutama yang berkaitan dengan politik.
"Maka hemat saya, apa yang mereka lakukan di film ini membabi buta, juga propagandanya berlebihan demi sebuah tujuan dan pandangan politik yang mereka usung maka sejarah yang digunakan tidak memiliki dasar," tandasnya.(bh/mos) |