JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron mendesak Menteri Kelautahn dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti untuk menunda pelaksanaan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 dan 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan pukat hela (trawal), Permen Nomor 56 dan 57 Tahun 2014 dan kapal-kapal nelayan yang dianggap illegal tidak perlu dibakar, melainkan disita oleh negara dan dihibahkan kepada nelayan. Kecuali, jika kapalnya sudah tua, maka sebaiknya ditenggelamkan. Harus diakui jika para nelayan itu masih miskin dan sulit, sehingga membutuhkan pengayoman pemerintah.
“Saya minta Ibu Menteri Susi Pudjiastuti menunda pelaksanaan Permen-Permen yang untuk sementara ini mendapat penolakan dari masyarakat nelayan. Seharusnya disosialisasikan terlebih dahulu sebelum diterapkan. Kalau terjadi penolakan, berarti ke depan pemerintah dan DPR harus melakukan sistem perencanaan antara pusat dan daerah,” tegas Herman Khaeron saat diskusi forum legislasi “RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan” bersama Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Mayjen. Pur. Yussuf Solichien dan Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB yang juga Penasihat Menteri KKP Arif Satria di Press Room Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (10/3).
Oleh karena itu, lanjut politisi dari Fraksi Demokrat ini, RUU ini masuk dalam RUU Prioritas 2015 yang akan diselesaikan pada masa persidangan 2015 ini. RUU ini meliputi ruang lingkup perikanan, nelayan, budi daya rumput laut, dan berbagai aspek kelautan, perikanan dan nelayan, sehingga pembahasan dan perumusannya harus melibatkan stakeholder, pihak-pihak terkait baik pemerintah maupun masyarakat.
“RUU ini semata-mata agar negara hadir. Misalnya memberikan perlindungan di sektor harga, advokasi, pendampingan terhadap nelayan dan berbagai aspek yang bebrbatasan dengan laut,” ujarnya.
Selain itu kata Herman, ada aspek pendidikan, penyuluhan untuk 40 ribu desa nelayan dan pesisir, memberikan akses permodalan kepada perbankan sebagai lembaga keuangan mikro bank sebagai mitra kerja yang baik tanpa payung hukum dan sebagainya. Sistem pasar juga harus diciptakan, infrastruktur dibereskan dan memberikan keleluasaan kepada nelayan bahwa nelayan itu mempunyai prospek masa depan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Dengan begitu tegas Herman, agar nelayan benar-benar dilindungi, diberdayakan dan disejahterakan. Karenanya visi RUU ini adalah untuk kesejahteraan sekaligus sebagai payung hukum dalam melindungi dan memberdayakan nelayan.
“DPR akan mengundang Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan akses keuangan guna pembiayaan nelayan itu,” tambahnya.
Apalagi, kondisi sosial ekonomi nelayan Indonesia dari 2,17 juta nelayan sebanyak 1,4 juta (kepala rumah tangga), ada di 3.216 desa, 70% berpendidikan SD, dan hanya 1,3 % yang berpendidikan tinggi, dan upah mereka rata-rata Rp 1,1 juta per bulan. Karena itu tujuan RUU ini untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian nelayan, pembudi daya ikan dan hasil laut lainnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, kualitas dan kehidupan yang lebih baik. “Maka, RUU ini untuk menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan, melindungi nelayan dan fluktuasi harga, praktek ekonomi dan resiko usaha, dan menumbuhkembangkan kelembagaan pembiyaan yang melayani kepentingan usaha perikanan,” mantapnya.
Sementara Yussuf Solichien mengakui jika kebijakan Menteri Susi tersebut tak pernah melibatkan pihak-pihak terkait (stakeholder). Tidak dilandasi idiologi negara yang mengharuskan dilakukan dengan musyawarah, menciptakan keamanan, ketertiban, dan kenyamanan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan dan kesejahteraan bersama.
Padahal kata Yussuf, kalau mau nelayan itu mandiri dan berdaulat maka harus disubsidi seperti di Cina (40%), Amerika Serikat (50%), Jepang (40%) dan negara lain. Negara-negara maju itu peduli pada nelayan, sehingga Cina mampu mengekspor ikan sebanyak 52 juta ton/tahun. “Jadi, pencurian ikan atau illegal fishing, pun tak akan pernah berhasil tanpa melibatkan nelayan, maka nelayan perlu diberdayakan,” ungkapnya.
Menurut Yussuf, satu-satunya solusi adalah memberi subsidi kepada nelayan yang menguasai 5,28 juta km luas laut Indonesia, ditambah penegakan hukum dengan melibatkan Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Angkatan Laut, mendirikan Bulog Perikanan. Sebab, dengan suhu di bawah 20 derajat ikan mampu bertahan sampai 2 tahun.
Selain itu dia meminta pemerintah tidak menggunakan data yang salah, sebab hal itu akan mengakibatkan terjadinya kebijakan yang juga salah. Data BPS sebagai data terbaru hasil sensus bahwa jumlah nelayan itu sebanyak 927 ribu sedangkan menurut DPR dan HNSI sebanyak 2,7 juta nelayan.
HNSI juga merilis sebanyak 72 % nelayan tidak sekolah dan tidak pula mempunyai akses ke perbankan dan lain-lain. “Bagaimana menghadapi globaliasai ekonomi termasuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)? Karena itu, perlu revisi semua kebijakan menteri Susi tersebut,” tambahnya.
Sedangkan Arif Satria berpendapat kalau pulau-pulau itu ada nelayan maka kapal asing akan takut memasuki wilayah laut Indonesia. Sebaliknya, kalau kosong, maka asing akan bebas masuk. Sebab itu dia sepakat untuk melindungi nelayan yang meliputi kehidupan, kesehatan, pendidikan, pangan dan perumahan.
“Juga perlu perbaikan alat tangkap ikan, dan perlindungan seperti apa yang harus diberikan kepada negara (koperasi), perlindungan perubahan iklim di mana terdapat 226 desa yang harus direhabilitasi, dan 784 desa yang rawan tsunami,” ungkapnya.
Dikatakannya, jika eksploitasi laut kita sangat kritis. Produksi di tingkat hulu hanya 50 persen. Karena itu, kalau semua dibiarkan maka akan terjadi degradasi alam. Salah satu degradasi alam itu adalah makin kecilnya ukuran ikan. “Lama-kelamaan ikan akan hilang seperti yang terjadi di Timur Tengah, Thailand dan Vietnam,” pungkasnya.(sc/nt/dpr/bhc) |