JAKARTA, Berita HUKUM - Melambungnya harga beras yang drastis sampai 30% sekarang ini seharusnya menjadi warning bagi pemerintah dalam menjaga kedaulatan pangan. Kenaikan 30% itu sudah pada tingkat membahayakan bagi suatu negara dan ancamannya lebih berbahaya dari nuklir.
Apalagi kasus beras ini hampir terjadi setiap tahun, terus berulang-ulang dan sistemik. Karena itu, DPR akan segera membentuk Pansus beras dan pupuk terkait dugaan adanya kartel atau mafia beras dan pupuk, yang menyulitkan petani selama ini.
“Saya melihat ada tangan-tangan yang tidak terlihat untuk pengkondisian untuk melakukan impor, setiap menjelang panen raya pada Maret dan April mendatang. Untuk itu, agar harga gabah dan beras tidak jatuh di musim panan raya itu, maka pemerintah harus tolak impor beras,” tegas Ketua Kelompok Komisi IV (Kapoksi) F-PKB DPR RI Daniel Djohan dalam dialektika demokrasi “Melambungnya harga beras, siapa yang bermain?” bersama anggota Komisi VI DPR RI dari F-Golkar Muhammad Sarmuji dan pemerhati pertanian Jan Prince Permata di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (26/2).
Menurut Daniel, yang harus dilakukan oleh Bulog adalah menindak oknum pemerintah dan swasta juga operasi pasar untuk mengetahui jumlah stok beras. Hanya saja operasi pasar itu tidak main-main, sehingga tidak mengandalkan pengusaha besar. Sebab, pengusaha besar itu sebagian merupakan bagian dari kartel, yang mengendalikan harga. “Bulog harus andalkan Kopas, yaitu koperasi pasar dan kios-kios kecil di pasar itu tak mungkin akan menimbun beras,” ujarnya.
Persoalannya lanjut Daniel, pedagang kecil itu kalau minta ke depot logistik (Dolog) berasnya malah ditahan, sehingga mereka kembali ke pasar induk yang harganya sudah dikendalikan oleh pengusaha besar. Karena itu Dolog harus mendistribusikan stok beras itu ke pedagang kecil dan harganya harus dikendalikan oleh Bulog. “Kalau harga sudah ditetapkan, pengawasnya kepala pasar yang sehari-hari bertugas di pasar, dan yang melanggar harus mendapat sanksi, maka harga dan distribusi beras aman,” tambahnya.
Thailand kata Daniel, sudah menawarkan beras per Kg Rp 4.000,- tapi itu beras afkiran. Karena itu kata Daniel, kalau ada oknum Bulog yang melakukan penyimpangan, maka Dirut Bulog yang baru Ibu Lenny Sugihat, bisa membereskan berbagai penyimpangan itu. Bulog mendapat PMN Rp 3 triliun, sedangkan pupuk mendapat subisidi Rp 32 triliun.
“Jadi, seharusnya Bulog langsung bertanggungjawab kepada Presiden RI, yang bisa mensubsidi petani dari hulu untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Harga beras pun tidak bisa diserahkan ke pasar, karena pangan sebagai kebutuhan dasar yang harus dikendalikan oleh negara,” jelas Daniel.
Sementara, Sarmuji mengakui jika melambungnya harga beras saat ini tidak masuk akal, karena stok di Bulog menumpuk. Di Surabaya Selatan untuk wilayah Mojokerto, Jombang, dan sekitarnya misalnya, stok beras di Bulog itu bahkan cukup untuk 18 bulan. Tapi, kenapa harga beras terus naik? Padahal, Jatim sebagai daerah penyumbang 20% kebutuhan beras nasional. Itu berarti ada pihak-pihak yang memainkan harga. “Ya, pedagang besar, pemain besar. Tapi, soal siapa? Intelejen tahu itu,” jelas politisi Golkar itu.
Kenapa bisa dimainkan, karena menurut Sarmuji, fungsi Bulog tidak jalan. Apalagi menjelang panen raya ini seharusnya stok beras itu dikeluarkan akhir Desember 2014 lalu. “Bukannya akhir Februari 2015 ini, sehingga saat panen raya pada Maret nanti Bulog bisa membeli gabah atau beras dari petani, sekaligus bisa melakukan stabilisasi harga. Hanya saja Bulog tak bisa melakukan operasi pasar kecuali diminta oleh Menteri Perdagangan RI,” tuturnya.
Mestinya kata Sarmuji ketika harga beras itu naik sampai 10%, maka pemerintah langsung melakukan operasi pasar, namun karena fungsi Bulog tidak berjalan, maka harga beras terus melambung. Padahal, Bulog bisa membuat outlet di pasar-pasar yang sudah memiliki jalur distribusi. “Jadi, kita memang harus membenahi Bulog. Untuk itu, kita mendukung Pansus beras maupun pupuk yang akan dilakukan lintas komisi DPR RI nanti,” pungkasnya.
Sedangkan, Prince Permata menegaskan, jika yang sulit itu kejujuran, dimana harga itu indikator yang paling tepat untuk mengukur kejujuran tersebut adalah harga. Anehnya Presiden Jokowi yang katanya rajin blusukan, ternyata kebobolan harga beras.
“Jadi, kalau dengan 8 juta ton beras nasional akan aman, tapi buktinya pemerintah kecolongan. Saya khawatir ini bukan soal Bulog, kartel atau mafia beras, melainkan soal kapasitas pemerintah. Mengapa? Buktinya, sewaktu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Presiden, hal itu bisa diatasi. Maka, ini berarti problem ketidakmampuan negara dalam mengantisipasi harga terkait kedaulatan pangan sebagaimana dijanjikan Jokowi sebagai Nawacita dan Trisakti Bung Karno,” ungkapnya.
Pada prinsipnya kata Permata, pemerintah itu harus seperti pedagang, dia harus hadir di sawah maupun di pasar agar mengetahui betul kondisi perberasan yang sesungguhnya. Baik mengenai terkait stok, menjelang panen raya, harga dan sebagainya.
Pemerintah Harus Lebih Serius Tekan Harga Beras
Sementara, Kenaikan harga beras di pasaran sudah memasuki rekor tersendiri, naik hingga 30 persen dan sudah berlangsung hampir dua bulan. Publik mulai bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah dilakukan pemerintah, karena belum pernah ada kenaikan selama dan setinggi ini.
"Upaya pemerintah harus lebih serius, operasi bulog harus lebih cepat dan bukan sekedar main-main untuk menstabilkan harga. Kenaikan harga yang berlarut-larut akan menjadi ruang gelap para spekulan dalam memainkan harga beras di pasaran dan menahan produksi harga beras," kata Wakil Ketua Komisi VI Heri Gunawan saat dihubungi di Jakarta, Jumat (27/2).
Pantauan wakil rakyat dari daerah pemilihan Jabar IV ini, harga beli beras di penggilingan sudah mencapai lebih dari Rp9.500. Kondisi ini dapat memicu inflasi dan akan semakin menyulitkan masyarakat. Lebih jauh menurutnya melonjaknya harga beras tidak berdampak positif bagi petani.
"Petani kita sekarang ini sedang menghadapi cuaca ekstrim dan tingginya biaya produksi yang menjadi kendala pasokan beras nasional. Belum lagi, mahalnya biaya-biaya non-produksi seperti penggilingan, transportasi dan lain-lain," tandas politisi FP Gerindra ini.
Berlarutnya kenaikan harga beras semakin memperkuat kesan pemerintah tidak cukup siap menghadapi kondisi ini. Publik dapat menilai pemerintah tidak punya disain dan mekanisme yang jelas tentang 'Kebijakan Perberasan Nasional'.
"Saya berharap pemerintah masih berupaya dengan keras menurunkan harga, jangan sampai menyerah apalagi kalau ujug-ujug melakukan impor beras atas nama stabilitas harga beras nasional. Jangan sampai," demikian Heri.(iky/sc/dpr/bhc/sya) |