JAKARTA, Berita HUKUM - Bila menelisik pengalaman sejarah di masa Pemerintahan Presiden Soeharto, atau yang dikenal dengan rezim Orde Baru berkisar tahun 1984 sempat menjalankan kebijakan Tax Amnesty (TA), yang mana ketika itu istilah yang dipakai; Pemutihan Pajak dengan sasaran yang tegas dan jelas yaitu atas penghasilan dan atas kekayaan.
Dr Fuad Bawazier yang pernah menjabat Dirjen Pajak dan mantan Menkeu RI menyampaikan bahwa, pembayaran pajaknya juga dipisahkan yaitu pakai formulir pajak penghasilan dan ada pajak kekayaan. Hingga praktisnya semua pejabat pajak dari Eselon V (Eselon terendah) sampai Eselon I (Dirjen, Sekjen, Irjen dsb) mengisi pengampunan pajaknya. Begitu pula Menteri Keuangan dll, sampai Presiden Suharto mengikuti pengampunan pajak tahun 1984 itu, ungkapnya mengatakan di Jakarta, Sabtu (10/9).
"Jadi dimulai dari diri pejabat Pemerintah sendiri, hingga masyarakat WP, juga ramai-ramai mengajukan pengampunan pajaknya," ungkapnya, Sabtu (10/9).
"Tapi ketika pemerintah mempunyai target tertentu (1983) yaitu untuk menghimpun dana masyarakat agar masuk ke Perbankan. Pemerintah cukup menetapkan kebijakan Tidak Mengusut Asal Usul Dana Deposito/ Tabungan, dan Sukses," jelasnya.
Namun, kondisinya untuk saat ini secara jujur Fuad menyampaikan, "sekarang ini masih tidak bisa mengerti, "Dan, maunya pemerintah ini apa?. Kalau maunya pengampunan massal seperti di tahun 1984, mestinya Presiden dan semua pejabat negara termasuk DPR dan pegawai pajak dan semua PNS harusnya terlebih dulu mengisi Tax Amnesty," lontarnya menyampaikan secara lugas.
Tapi kalau memang tujuannya adalah tertentu, seperti yang secara pribadi Fuad Bawazier merasa dan pahami, sekarang ini yaitu untuk mendatangkan modal, semestinya cukup 'Kebijakan Tidak Mengusut Asal Usul Dana Modal Usaha'.
"Nampaknya kegagalan Pemerintah atau menteri keuangan yang lama dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai dan policy yang semestinya digunakan, telah menyebabkan babak belurnya Tax Amnesty sekarang ini," paparnya, lagi mencermati.
"Hal tersebut baik dari segi keresahan dan kebingungn yang terjadi, maupun seretnya target penerimaan yang Rp165 triliun itu. Pelajaran pahit dan mahal bagi yang tidak mau belajar sejarah," pungkasnya.(bh/mnd) |