Oleh: Kamaruddin Hasan
TULISAN INI berawal dari kegalauan kawan-kawan Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia dengan Atjeh Analys Club (A2C) dan Sekolah Menulis & Kajian Media (SMKM_Atjeh)nya yang fokus melakukan kajian mingguan tentang relitas media baik secara global, Nasional maupun regional. Saya coba merangkum kembali poin-poin penting untuk memperoleh suatu pemahaman awal tentang dilema media kontemporer diantara kekuatan ekonomi politik yang begitu besar dengan kepentingan publik yang mulai terabaikan.
Realitas riil yang muncul kemudian adalah para pihak berkuasa secara ekonomi dan politik justru pemilik media, industri media dikuasai hanya beberapa koorporasi secara Nasional yang menghegemoni publik. Ekonomi-politik media yang pada intinya berpijak pada prinsip ekonomi politik sebagai kajian relasi sosial dalam hal ini publik, juga menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya, kontrol dan pertahanan kehidupan, menjadi penting dilakukan pencerahan demi menempatkan publik secara kritis terhadap berbagai sajian atau isi media. Asumsinya bahwa sajian atau isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik. Faktor pemilik media, modal, dan pendapatan media lebih menentukan bagaimana wujud sajian dan isi media.
Faktanya adalah ketika industri media kini dikendalikan hanya sejumlah pemilik modal yang terkonsentrasi, yang mengarah ke oligopoli media dan akhirnya memonopoli kepemilikan media tentu saja termasuk sajian atau isinya yang menjadi konsumsi publik tiap hari. Sekian banyak media di Indonesia, ternyata hanya dikuasai oleh 13 group media besar.
Fakta ini secara global juga menunjukkan industri media massa sedunia hanya dikuasai oleh 6 perusahaan media massa milik Yahudi. Sisi lain kapitalisme – globalisasi media memicu terjadinya era konvergensi media, yaitu bersatunya tehnologi informasi dan komunikasi dengan konsep digitalisasi.
Pemahaman publik tentang ekonomi politik media merupakan analisis dialektik atas ideologi, kondisi ekonomi, sosial budaya dan politik, demi memperkuat posisi kemanusiaannya, kelompok-kelompok yang ada dalam publik agar terbebas dari berbagai macam bentuk dominasi dan hegemoni. Sehingga publik perlu menggunakan pendekatan kritis sebagai metode praktis yang menggabungkan analisis dengan aksi nyata.
Hegel, mengungkapkan baginya pengetahuan tidak diperoleh dalam posisi sebagai subjek-objek dimana objek dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dan beroposisi dengan manusia yang mempunyai pengetahuan. Untuk mengetahui dunia, manusia harus membuat dunia menjadi miliknya sendiri.
Konsep ekonomi politik media di kaji oleh Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication (1998), perhatiannya diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Institusi media massa sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik. Produksi media ditentukan oleh pertukaran nilai isi di bawah kondisi tekanan ekspansi pasar, kepentingan pemilik modal dan pembuat kebijakan media. Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.
Adagium pengaruh media pada publik memang cukup besar, yang sangat rentan adalah dampak kepada sistem ekonomi, sosial, politik bahkan pada masalah demokratisasi dan kebudayaan. Bahwa adanya korelasi dampak-pengaruh antara media massa yang menghasilkan sistem nilai tertentu dengan proses pemaknaan hidup masyarakat.
Jurgen Habermas (1989), menyebutkan media massa telah membentuk wilayah yang bisa menjadi jembatan komunikasi antara piranti kekuasaan dalam hal ini negara dengan para anggota warga.
Dalam proses aplikasinya ekonomi politik media dalam menghemoni publik, Vincent Mosco menyebutkan konsep komodifikasi; spasialisasi, dan strukturasi yang biasa digunakan. Komodifikasi berkaitan dengan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukar atau modal di pasar. Proses transformasi ini, dalam media selalu melibatkan para awak media, khalayak media, pasar, dan negara apabila masing-masing diantaranya mempunyai kepentingan.
Spasialisasi sebagai proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan publik. Bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media. Proses untuk mengatasi hambatan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial oleh perusahaan media dalam bentuk perluasan usaha, seperti proses integrasi horizontal, vertikal dan internasionalisasi. Hasilnya berupa produk transformasi literal dari peta wilayah komunikasi dan informasi yang mengaksentuasikan ruang tertentu dan hubungan antara ruang-ruang tersebut.
Sedangkan strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya. Strukturisasi merupakan proses penggambungan agensi manusia dengan proses perubahan sosial ke dalam analisis struktur. Konsep yang ditawarkan Mosco ini pada prinsipnya relevan dalam mengkaji keseluruhan kegiatan media dan merumuskan satu model yang holistik dari keseluruhan siklus produksi sampai penerimaannya.
Lihat saja, perkembangan media sejak paruh pertama tahun 90-an melahirkan sejumlah babak baru. Bukan saja telah menghasilkan perubahan sosial politik ekonomi, juga membawa sejarah baru dalam perkembangan industri kreatif.
Media secara cerdas telah menyulap aneka pernak-pernik kehidupan publik menjadi bagian dari bisnis. Pernak-pernik kehidupan apapun dapat diubah menjadi komoditas yang layak untuk di jual dalam proses komodifikasi. Memang terkadang, kepentingan utama media umumnya bukan untuk diorientasikan pada pengembangan nilai-nilai kehidupan secara murni, melainkan sekedar artikulasi dari kepentingan ekonomi semata.
Sangat wajar jika kemudian media misalnya televisi menjadikan nilai-nilai kehidupan sebagai komoditas belaka tanpa mengindahkan dampak susulan dari tayangannya yang bias pelanggaran atas nilai-nilai itu sendiri.
Teks-teks seperti nilai-nilai kehidupan yang sakral sekalipun seumpama keagamaan dan spiritualitas, dikemas ke dalam aneka tayangan. Program televisi misalnya dengan aneka tayangan; sinetron, iklan adalah bentuk teks yang diproduksi untuk mendapatkan keuntungan secara masif. Di tangan elit industri media apapun dapat dikonstruksi menjadi produk yang berdaya pikat tinggi dan akan mendatangkan keuntungan besar. Media mengkomodifikasi seluruh artifak kebudayaan manusia.
Publik sesungguhnya tengah dibendakan oleh media, publik hanya dianggap sebagai obyek pelengkap yang dihitung berdasarkan kalkulasi matematis demi potensi keuntungan. Sehingga hubungan publik dengan media berlangsung secara reifikatif, karena publik sesungguhnya dikuasai oleh hukum pasar, barang yang diperjualbelikan dalam jalinan kepentingan akumulasi modal.
Adorno, menilai, manakala kapital menjadi tolak ukur utama dalam segitiga hubungan media (televisi), pengiklan, dan publik. Publik komodifikasi, ditandai terkikisnya identitas, keterasingan, dan ketidaktahuan norma mana yang harus dipegang, menyebabkan publik begitu mudah terpengaruh. Media menjadi sarana pemberi identitas, budaya, pemuasan akan kebutuhan, cara berpikir, menyediakan kawan, menampilkan penafsiran tentang kejadian-kejadian, dan secara tidak langsung mengarahkan publik pada pengambilan keputusan yang seringkali tidak sesuai dengan norma, nilai dan adat atau kearifan lokal.
Padahal mesti dingat, pada dasarnya konten media bukanlah sebuah entitas obyektif. Lanjutanya adalah berlangsungnya situasi hiperrealitas publik. Publik dan media diwarnai dengan politik pertandaan, suatu situasi dimana “teks” media menjadi arena untuk mengendalikan publik. Dalam bahasa Baudrillard, model simulasi ini berhasil menebarkan wacana kekuasaan dan kontrol secara langsung pada lingkungan publik. Kesadaran publik dikontrol melalui sarana representasi untuk mengiyakan bahwa apa yang publik konsumsi melalui media adalah kebenaran obyektif dan bukan sebuah rekayasa subyektif.
Filosof Juergen Habermas, mengingatkan, media dalam sistem yang demokratis semestinya berfungsi sebagai arena ruang publik. Sudibyo, menggaris bawahi, bahwa ruang publik merupakan wilayah di mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi, bertukar pikiran, dan berdebat tentang masalah-masalah publik, tanpa perlu merisaukan intervensi penguasa politik dan ekonomi.
Namun Anthony Giddens dalam structuration theorynya, mengandaikan adanya interplay antara struktur dan agent dalam proses konstruksi ruang sosial. Media ketika berhadapan atau dikuasai oleh kekuatan politik negara dan kekuatan ekonomi pasar, media gagal menciptakan ruang publik dan publik hanya sebagai komoditas, alih-alih melayani kepentingan publik.
Salah satu solusi penting bagi publik adalah bagaimana memahami Literacy media secara baik dan benar. Misal dengan konsep Inokulasi agar terhindara ‘penyakit’ alias efek negatif media. Media literacy sebagai ketrampilan yang diperlukan guna berinteraksi secara layak-bijak dengan media, dan menggunakannya dengan rasa percaya diri. Publik mesti memiliki ketrampilan literacy yang diperluas pada seluruh bentuk pesan, termasuk menulis, membaca, berbicara dan menyimak, serta menonton secara kritis, dan kemampuan untuk menulis sendiri pesan-pesan dengan menggunakan berbagai teknologi. Media literacy adalah semacam code of conduct bagi publik di Era Informasi.
Kecakapan untuk membaca dan memahami isi media secara subjektif, kecakapan untuk memahami ragam karakteristik media dalam menyampaikan informasi. Kecakapan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan secara kritis memeriksa media dalam sebuah konteks sosial, serta memilih informasi yang tepat. Kecakapan untuk mengakses dan menggunakan media, kecakapan untuk menyeleksi, mengoperasikan, dan secara aktif memanfaatkan perangkat-perangkat media.
Selain itu, publik perlu menyadari bahwa konglomerasi media adalah persoalan ekonomi-politik. Perlu kritis terhadap semua semua media konglomerasi. Publik memiliki hak atas informasi yang benar, maka lembaga-lembaga publik semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers, untuk lebih kritis mengawasi agar tidak bias kepentingan pemilik media.
Membangun semacam pemantauan media. Partisipasi aktif publik dalam kebijakan, revisi Undang Undang (UU) Penyiaran dan RUU Konvergensi Telematika. Juga sebagai warga negara, publik perlu mempertahankan agar media tetap menjadi pilar ketiga demokrasi, jangan berubah menjadi pilar ketiga dari politik oligarki.
Dengan memperkuat konsep literacy media. Dan mediapun diharapkan tidak terjerumus terlalu dalam ke permainan politik oligarki, monopoli dan hegemoni. Semoga..(kh/bhc/sya)
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Unimal Aceh
Ketua Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia
(Sekolah Menulis & Kajian Media -SMKM-Atjeh dan Atjeh Analyst Club-A2C)
|