JAKARTA, Berita HUKUM - Kawasan ekosistem Leuser (KEL) merupakan kawasan penyangga penting yang masuk dalam daftar warisan dunia UNESCO. Namun keberadaannya kini terancam oleh alih fungsi lahan dengan tidak dimasukkannya KEL dalam Qanun RTRW Aceh sebagai Kawasan Strategis Nasional.
Ekosistem yang mengitari Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh itu berperan penting dalam melindungi keanekaragaman hayati yang hidup di kawasan tersebut.
Melalui peraturan daerah lokal, Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang RTRWA, Gubernur dan DPRD Aceh memutuskan untuk melepas kawasan ekologis ini dari rencana tata ruang sampai tahun 2033 mendatang. Aturan ini kontan menyulut protes dari kalangan pegiat lingkungan dan masyarakat lokal yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), yang menganggap tidak berpihak kepada masyarakat.
GeRAM mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meminta pemerintah Aceh kembali memasukkan KEL dalam RTRW nya. "Kami ingin Kemendagri menggunakan kewenangannya secara tegas, agar pemerintah Aceh tidak lepas tangan. Saat ini kondisi ekologis di Leuser sudah banyak berubah. Banyak lahan yang sudah rusak karena beralihfungsi menjadi kebun ilegal," ujar perwakilan GeRAM, Faisal, dalam diskusi bertajuk Dilema Penghapusan Kawasan Ekosistem Leuser dari Tata Ruang Wilayah Aceh, bertempat di Bumbu Desa Resto kawasan Cikini, Jum`at (10/6).
Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Drs. Nyoto Suwignyo menanggapi tuntutan tersebut, Kemendagri menilai, KEL tidak sepenuhnya lepas dari tanggungjawab pemerintah Aceh. Kemendagri masih bisa mengevaluasi fungsi tata ruang yang ditetapkan pemerintah daerah.
"Sejak tahun 2013 Kemendagri sudah melakukan evaluasi tentang RTRW Aceh. Dari 76 Kawasan Strategis Nasional (KSN) Leuser ini spesial. Tantangannya pasti adanya berbagai kepentingan termasuk pengelolaan kawasan untuk ekonomi karena memiliki sumber daya berupa rotan, kayu, lahan pertanian, dan juga perkebunan," ungkapnya.
Nyoto juga mengatakan, bahwa aturan mengenai Leuser sebagai KSN tidak tertera dalam Qunon Aceh.
Sebab, penetapan kawasan strategis merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dengan kata lain, jika pemerintah Aceh tidak ingin mengelola KEL, kawasan itu masih bisa dikelola oleh pemerintah pusat.
"Leuser sangat penting, kawasan ini memiliki luas 2 juta 600 hektar are, dan memiliki keanekaragaman hayati. Maka dari itu ditetapkan sebagai KSN yang artinya, pemerintah Aceh tidak harus mencantumkan KEL dalam RTRW nya," terang Nyoto Suwignyo.
Sementara, menurut pakar management kawasan konservasi IPB, Haryanto P. Putro menilai, bahwa memang ada pelanggaran dalam kawasan lindung di Aceh diubah menjadi kawasan tambang. Banyak pejabat daerah yang tak peduli mengenai lingkungannya sehingga pengusaha dengan mudah mendapatkan izin pembabatan hutan, sehingga tidak mementingkan masyarakat disekitarnya. Masyarakat juga harus terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam KEL.
"Aceh punya cara untuk memanfaatkan lahan KEL setelah menetapkan Qanun. Walaupun di tingkat manajemen tidak ada masalah, penguatan kelembagaan yang melibatkan masyarakat juga perlu dilakukan. Agar tak terjadi penyalahgunaan wewenang, sebaiknya ditingkatkan pengawasannya," terang Haryanto.
Dari pihak kementerian dalam negeri telah melakukan Evaluasi dilapangan untuk mendorong penyelesaian. Mendagri terlibat, Kementerian ATR juga terlibat serta rakyat juga. Keseluruhan itu bisa bekerja sama untuk menyelesaikan masalah ini.(bh/yun) |