JAKARTA, Berita HUKUM - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015 Din Syamsuddin, meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk transparan dalam menjelaskan hasil investigasi atas maraknya kasus penyerangan tokoh-tokoh agama yang terjadi akhir-akhir ini.
Demikian yang disampaikan oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin di gedung MUI Jalan Proklamasi Jakarta Pusat dalam Rapat Pleno ke-25 Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia yang membawa tema "Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Ulama dan Rumah Ibadah", Rabu (21/2).
Dalam rapat pleno tersebut, MUI menghadirkan dua petinggi dari lembaga negara yang dianggap cukup relevan dengan tema Pleno untuk berdiskusi, yakni Badan Nasional Penanggulangan Terois (BNPT)dan Polri.
Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban ini menganggap bahwa sejak Desember tahun lalu marak terjadi peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan terhadap lambang keagamaan dan tokoh-tokoh agama dari Islam maupun yang lain. Menurut Kabareskrim, dari Desember 2017 sampai saat ini telah terjadi setidaknya sekitar 21 kali kasus kekerasan yang berkaitan dengan agamawan dan lambang keagamaan sebagai objeknya.
Oleh karena itu, Din menganggap bahwa wajar jika di kalangan umat Islam maupun ormas Islam, muncul banyak dugaan bahwa kejadian yang marak ini tidak berdiri sendiri, melainkan adalah bagian dari rekayasa yang sistematis.
Terkait kejadian terakhir, Din meminta untuk tidak cepat mengambil kesimpulan, sebab jika semua pelaku kekerasan terhadap tokoh agama disimpulkan sebagai orang gila, muncul dugaan bahwa kasus ini tidak dapat diselesaikan karena orang gila tidak dapat dipidana.
"Karena nanti bisa ditanya balik, kenapa kok tiba-tiba Desember sampai sekarang seperti musim munculnya orang gila yang menyasar tokoh-tokoh agama, ulama, dan itu beruntun perminggu. nah ini yang perlu dijelaskan oleh Polri," tegas Din.
Sementara itu Ketua PP Muhammadiyah sekaligus Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas, meminta Bareskrim Polri untuk segera mengatasi dan menanggulangi, agar tidak berlarut-larut.
"Karena banyak yang terkait dengan tokoh-tokoh agama, ulama, da'i. Kalau sudah ulama, mudah sekali untuk menyulut emosi dari umat, apalagi dengan persepsi, wah ini tiba-tiba ada orang gila apalagi dikaitkan dengan proses politik, pilkada dan pilpres. Ini bisa jadi runyam, seperti ada orang gila ini pernah rapat di suatu tempat," ujar Anwar.
Menurut Anwar, masyarakat tidak dapat disalahkan jika kemudian menduga telah terjadi rekayasa dalam kasus penyerangan ini.
"Kita ingin mendukung pihak penegak hukum dan keamanan, tapi jangan kemudian bangsa ini mau diadu domba. kalau tidak dijelaskan nanti bisa muncul banyak dugaan yang akhirnya membuat kita saling menyalahkan dan mencurigai," tegas Anwar.
Anwar menjelaskan, bahwa jika kasus ini tidak segera diselesaikan, akan berpotensi memunculkan reaksi dari masyarakat yang tidak proporsional,
"Masyarakat bisa main hakim sendiri, nanti ada orang duduk-duduk di sekitar pesantren dianggap orang gila, itu kan tidak bagus. Kedua, bisa juga mengadu domba antar umat beragama, kita tidak ingin seperti itu. kita mendukung dan mendorong masalah ini segera diselesaikan," imbuh Anwar.
"Betulkah kasus-kasus ini ada rekayasa? Nah ini yang perlu dijawab oleh pihak kepolisian. Jika ada rekayasa berarti negara ini sudah sangat bermasalah. Nanti kita dengarkan dua minggu lagi, apa yang menjadi terobosan oleh pihak kepolisian," tanya Anwar.
Masalah Terorisme
Terkait masalah penanganan terorisme, Din Syamsuddin mendukung langkah persuasif yang dilakukan oleh negara. Dia menjelaskan bahwa tindak terorisme tidak ada kaitannya dengan Islam. Terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan, merusak tatanan kehidupan dan kerukunan bangsa.
"Namun kita minta jangan kait-kaitkan setiap kasus terorisme dengan Islam," tegas Din.
Mewakili umat Islam, Din berkeberatan mengenai isu radikalisme yang selalu dikaitkan dengan Islam sehingga seolah-olah umat Islam itu radikal.
"Seolah-olah umat Islam teroris, apalagi ada generalisasi, gebyar uyah, ini yang bahaya. Jadi posisi ketidaksetejuannya, penolakannya pada posisi itu. Nah alhamdulillah, kepala BNPT yang baru telah memberikan keyakinan kepada kita bahwa pendekatan soft aproach yang dilakukannya tidak akan seperti itu," pungkas Din.(afandi/muhammadiyah/bh/sya) |