JAKARTA, Berita HUKUM - MKRI. Alkisah Eliadi Hulu ditilang oleh petugas Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Jakarta Timur saat mengendarai sepeda motor dalam perjalanan menuju kampus pada Senin, 8 Juli tahun 2019 pukul 09.00 WIB. Alasannya, Eliadi tidak menyalakan lampu utama sepeda motor yang dikendarainya. Dia disangkakan telah melanggar ketentuan Pasal 293 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Pada waktu yang sama Eliadi mengunduh UU LLAJ melalui telepon selularnya untuk mengetahui ketentuan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ.
Setelah membaca ketentuan yang terdapat dalam pasal tersebut, Eliadi merasa tidak mengerti manfaat dari menyalakan lampu utama sepeda motor pada siang hari. Ia juga mempertanyakan ketentuan dalam UU LLAJ yang mewajibkan menyalakan lampu utama pada siang hari.
Merasa dirugikan, Eliadi Hulu bersama Ruben Saputra Hasiholan Nababan mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia ini menguji Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ yang menyatakan, "Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari," dan Pasal 293 ayat (2) yang berbunyi, "Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor di jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000 (seratus ribu rupiah)," Menurut para Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 8/PUU-XVIII/2020 ikhwal uji materi UU LLAJ yang diajukan oleh Eliadi Hulu dan Ruben Saputra Hasiholan Nababan ini digelar pada Selasa (4/2) lalu di Ruang Sidang Panel MK. Sidang perkara ini dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Hadir tanpa didampingi kuasa hukum, Ruben mendalilkan pasal-pasal tersebut tidak mencerminkan asas kejelasan rumusan karena frasa "pada siang hari" tidak mudah dimengerti. Akibatnya, sambung Ruben, menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Padahal setiap peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Namun, keberlakuan pasal-pasal tersebut telah nyata menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon.
"Bahwa bagian Penjelasan dalam pasal a quo hanya berbunyi 'cukup jelas' yang artinya tidak ada penjelasan lanjutan terkait dengan frasa 'pada siang hari' sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada kejelasan waktu mulai dari pukul berapa sampai pukul berapa yang dimaksudkan norma tersebut," terang Ruben.
Letak Astronomis
Para Pemohon juga mendalilkan bahwa penerapan kewajiban menyalakan lampu utama sepeda motor pada siang hari tersebut tidak sesuai dengan letak astronomis Indonesia. Menurut para Pemohon, penerapan kewajiban menyalakan lampu utama pada sepeda motor tersebut diberlakukan di negara Nordik yang berada di bagian utara bumi dengan kondisi sinar matahari paling sedikit pada siang hari. Sehingga dibutuhkan bantuan penerangan dengan konsep pencahayaan lampu DRL (daytime running lamp) guna menekan angka kecelakaan lalu lintas. "Kurangnya sinar matahari pada negara yang mempelopori penyalaan lampu pada siang hari, disebabkan iklim dan letak astronomis negara tersebut," jelas Ruben.
Semenjak diberlakukannya UU LLAJ tersebut, sambung Ruben, seluruh korporasi mengeluarkan posisi lampu utama otomatis menyala pada saat sepeda motor dinyalakan. Hal ini berakibat pula pada terganggunya kenyamanan masyarakat sekitar akibat lampu yang menyorot langsung dan hal tersebut juga merupakan bentuk ketidaksopanan. Atas permohonan ini, para Pemohon memohonkan agar Mahkamah menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 serta menyatakan pasal a quo secara bersyarat konstitusional sepanjang frasa "pada siang hari" diubah menjadi "sepanjang hari".
Sistematika Permohonan
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra menasihati para Pemohon agar dilakukan perbaikan sistematika permohonan mulai dari kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum para Pemohon, hingga potensi kerugian konstitusional para Pemohon. "Dalam permohonan ini, saudara masih mencampuradukkan kerugian konstitusional dengan kedudukan hukum. Ini harus dibedakan letaknya sehingga setelah dijelaskan, baru ketentuan dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian," sampai Saldi.
Selain itu, Saldi juga menyoroti perlu dilakukan penelusuran sumber argumentasi terkait perbedaan pemaknaan waktu antara pagi, siang, dan sepanjang hari yang dimaksudkan para Pemohon. Hal ini berkaitan pula dengan petitum yang diajukan para Pemohon.
Implementasi Norma
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mempertanyakan pada para Pemohon sehubungan dengan pemahaman pada pasal yang diajukan, apakah sudah tepat atau hanya masalah pelaksanaan dari pasal tersebut. Ketika dirunut pasal, sambung Daniel, maka pasal-pasal sebelumnya harus dipahami sebagai satu kesatuan norma yang utuh. "Ini penting dicermati, ternyata norma ini hanya diartikan salah sehingga dalam pelaksanaannya salah. Jadi, kritisi lagi norma ini," sampai Daniel.
Adapun Hakim Konstitusi Suhartoyo melihat agar permohonan yang diajukan para Pemohon tidak semata tertuju kepada kepentingan para Pemohon, tetapi juga mencakup kepentingan masyarakat luas. Untuk itu, perlu para Pemohon untuk memperhatikan tujuan dari pengajuan permohonan ini. Pada akhir persidangan, Suhartoyo mengingatkan agar para Pemohon memperbaiki permohonan dan menyerahkan kepada kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Senin, 17 Februari 2010 pukul 14.00 WIB.(SriPujianti/FY/NRA/MK/bh/sya) |