JAKARTA, Berita HUKUM - Menurut Djoko Edhi Abdurahman, selaku perwakilan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdatul Ulama ( LPBH-NU), bahwa adanya upaya merevisi UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang mau memperbolehkan warga negara ganda atau dengan kata lain dwikewarganegaraan, Djoko Edhi mengatakan konsisten dan tegas menolak terhadap pengajuan RUU tentang Dwikewarganegaraan tersebut.
Djoko berkata, "Upaya tersebut salah satunya ada yang RUU ditempatkan di prolegnas, sedang satu lagi rancangan untuk mengubah UU nomor 12 itu bisa dirubah kemungkinan pada Juklak dan Juknis, yakni di dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan KepMen-nya," ungkap mantan Anggota DPR RI komisi III itu, saat sesi diskusi bertajuk, 'Nasionalisme dan Masalah Dwikewarganegaraan di Indonesia,' yang digelar oleh Sabang Merauke Circle di kawasan Tebet, Jakarta. Kamis (25/8).
Berdasarkan catatan dan pengamatan yang diketahui Djoko Edhi bahwa, kalau Dwikewarganegaraan sudah diajukan dan dibahas semenjak tahun 2014. Bulan Oktober 2014 dibarengi dengan ditandantangani berdirinya Asian Investment Infrastruktur Bank (AIIB) yang diinisiasi oleh Presiden China, Xie Jien Ping. Tiongkok, Singapura, dan Indonesia dengan 3 negara ini, yang klaim kalau China sebagai Kreditur membawahi separuh warga dunia.
"Sebelumnya seperti diketahui kalau para kreditur ada beberapa Lembaga Keuangan Barat sepert adanya IMF, World Bank, dan Asian Development Bank, sedangkan AIIP ini adalah Bank ke-3 yang diinisiasi oleh Xie Jin Ping sebagai lembaga keuangan ketiga. Dimana yang di inisiasi di Ameria Latin seperti Puerto Rico, Venezuela, yang notabene bisa pula disebut lembaga pengawas keuangan Barat," ujarnya.
Sebelumnya di afrika, dimana dibangun untuk menganalisa lembaga keuangan barat, yang mana dikenal dengan sebutan BRIC (Brazil, Rusia, India,China). Jadi 3 Bank bakal berhadapan dengan 3 Bank Barat (IMF, WB, dan ADB). "Jadi bila ditelaah mendalam 'perang global' itu, nampaknya Pemerintah sekarang mulai ikut ke AIIP (Asian Investment Infrastruktur Bank)," jelasnya mencermati.
Memang bila ditelusuri pada setahun yang lalu kisaran di bulan Oktober atau September. "Dimana pada waktu itu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat sempat datang ke Indonesia dan meminta agar Indonesia tidak ikut AIIP. Ketika pemerintahan menolak, dan tanda tangan. Maka munculnya ke 3 kemudian menyusul bank itu yakni BRIC dan AIIP. Kemudian menunjukan Indonesia masuk nampaknya ke Blok China," celetuk Djoko Edhi menimpali.
Dalam konteks ini, issue Dwikewarganegaraan menjadi isu sentral, dan sangat penting dikaji terkait dengan adanya fenomena Diaspora. Sekelompok masyarakat eks Indonesia yang ada di luar negeri, yang ingin kembali mengabdi ke Tanah Air, atau dirasa dibutuhkan bangsa ini.
Kedua, sebaliknya adanya ketakutan sebagian masyarakat yang melihat bahaya, ancaman yang potensial terjadi, bila Dwikewarganegaraan berlaku. Dimana adanya 7 juta WNI keturunan Cina yang berpotensi mempunyai dwikewarganegaraan. Seperti terjadi di masa awal Indonesia Merdeka. Apalagi dalam hal kewarganegaraan menetapkan setiap keturunan biologis China adalah warga negara. Hal ini tentu menjadi sensitif, selain kekayaan negeri ini dikontrol etnis Cina, juga mereka merupakan Diaspora bagi negara RRC, Dan, ditambah, adanya rencana RRC mengirim tenaga kerjanya sejumlah 10 juta jiwa ke indonesia. Seperti yang mana sempat diungkapkan oleh PM RRC saat berbicara di UI, di Kadin, mengenai kohesi Perluasan Kebangsaan dan Nasionalisme RRT, yang bentuk aslinya adalah Hoakia atau China perantauan yang dahulu jumlahnya berkisar 7,9 juta pada 2009.
"Dalam hal kewarganegaraan, menetapkan setiap keturunan biologis China adalah warganegara. Dan, ditambah, adanya rencana RRC mengirim tenaga kerjanya sejumlah 10 juta jiwa ke indonesia. Hal ini tentu menjadi sensitif, sebab, selain kekayaan negeri ini dikontrol etnis Cina, juga mereka merupakan Diaspora bagi negara RRC," ujar Djoko Edhi.
"Terlebih dengan mencuatnya kasus Alchandra, yang diduga sisipan guna melancarkan RUU Dwikewarganegaraan," imbuhnya dengan nada curiga.
"Kan ada pertempuran ini, kelihatannya dimana Direktur pelaksana IMF masuk ke Resuflle, maka ketika dari AIIP itu peroleh 250 T yang untuk membangun janji-janjinya semasa Pilpres. Masuk lagi dan menjilat lagi dihajarlah bank-bank ini saat konpres di bandung KAA. Kemudian pihak Barat keluar, hingga China masuk. Ini pertempuran Barat dan China cukup kuat," tegasnya.
"Yang jadi persoalan saat ini secara sosiologis perlu dan pentingnya memperbaiki perilaku. Soalnya ini enak-enak saja China masuk sini. Siapa yang proses Singapura menjadi China, Vietnam menjadi China, Malaysia menjadi China. Nah, sekarang kondisinya kita mengalami proses itu?. Mengutip 'National Identity' oleh Prof. Smith itu dimana terbentuk berdasarkan pengalaman sejarah dan ada teritorial, tentunya dalam bentuknya negara tidak boleh ada negara baru. Hanya satu yakni Nasionalisme, tidak ada yang lain," tandasnya.
Turut hadir dalam sesi diskusi, selaku narasumber yakni Dr. Syahganda Nainggolan dari Sabang Merauke Circle, Dr. Sidratahta Mukthar dari Universitas Kristen Indonesia, Taufan Putra Revolusi dari Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Djoko Edhi Abdurrahman dari LPBH Nahdatudal Ulama (NU), dan Dr. M.Dahrin La Ode dari Universitas Pertahanan.(bh/mnd) |