JAKARTA, Berita HUKUM - Mochamad Subchi Azal Tsani (MSAT), anak dari pengasuh Pondok Pesantren Shiddiqiyah Jombang, yang menjadi tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwatinya, sampai saat ini belum juga ditahan oleh pihak yang berwajib.
Padahal, berdasarkan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) dari Polda Jawa Timur tertanggal 11 Januari 2022 telah menginformasikan bahwa hasil penyidikan dinyatakan lengkap (P21). Berdasarkan surat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Nomor: B-32/M.5.4/Eku.1/2022.
Butuh waktu dua tahun lebih bagi penyidik untuk menuntaskan penyidikan sejak beredar surat pemberitahuan dimulainya penyidikan terhadap tersangka pada 12 November 2019.
Upaya jemput paksa terhadap tersangka MSAT yang dilakukan oleh Polda Jatim pun gagal pada Sabtu, 15 Februari 2020. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim, Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko saat itu mengatakan, "Gagalnya penjemputan anak kiai di Jombang ini lantaran adanya penghadangan dari pihak pondok pesantren".
Kuasa hukum korban, Abdul Wachid Habibullah mengatakan bahwa berkas perkara tersangka sudah P21, yang artinya pihak kepolisian melanjutkan tahap dua atau pengiriman tersangka dan barang bukti ke pihak kejaksaan.
Ia berharap upaya penjemputan paksa hendaknya bisa dilakukan lagi. Dan perkara ini segera dilanjutkan ke pengadilan.
"Polisi adalah alat negara, dan memiliki alat. Upaya gagal jemput paksa tak bisa dijadikan alasan", kata Wachid dalam konferensi pers virtual, Rabu, (12/1).
Ia juga mengatakan, "Seharusnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga melakukan penanganan terhadap tersangka. Kalau tidak ditahan, tersangka bisa mengulur waktu dan menghalangi proses persidangan. Selain itu, kasus ini juga sudah melebar ke kasus lain. Dimana ada saksi yang mengalami kekerasan", jelasnya.
Kasus kekerasan seksual ini, berlatar belakang relasi kuasa. Mengingat tersangka merupakan anak dari pemilik dan pengasuh pondok pesantren di Jombang. Dimana para korban adalah anak didiknya.
Peristiwa ini bermula dari rekruitmen tenaga kesehatan dengan mencari calon pelamar santri/ santriwati dari pondok pesantren, untuk bekerja di pusat kesehatan pondok tempat para korban mondok.
Pelaku memanfaatkan kepercayaan para korban kepadanya, yang notabene merupakan anak kiai pemilik pondok dan pusat kesehatan di pondok yang memiliki kekuasaan atas korban. Dalam rekrutmen tersebut, pelaku berhasil memperdaya korban dengan melakukan pemerkosaan dan pencabulan.
Dalam pers rilisnya, Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual menyebutkan, fakta perkosaan dan pencabulan dilakukan dalam ancaman kekerasan, ancaman tidak lolos seleksi, manipulasi adanya perkawinan, dan menyalagunakan kepatuhan murid terhadap gurunya.
Faktanya para santriwati yang menjadi korban pencabulan dan perkosaan , serta berani melapor telah dikeluarkan dari pondok pesantren.(bh/na) |