JAKARTA, Berita HUKUM - Perjuangan keluarga Edih Kusnadi (32) untuk mencari keadilan, rupanya masih panjang. Sebagaimana diketahui, Edih Kusnadi warga Serpong, Tangerang dituduh menjadi Bandar narkoba dan disiksa Polisi, dipaksa untuk mengaku, lalu dijebloskan ke penjara. Kasus dugaan manipulasi kasus atas dugaan salah tangkap dan penganiayaan ini terjadi sejak tahun 2011.
Bersama orangtua dari Sdr Edih Kusnadi pada hari Jumat tanggal 6 Juli 2012 melaporkan ke Komisi Yudisial (KY) yang berfungsi mengawasi perilaku Hakim untuk kasus tersebut. Serta juga sudah dua kali ke Kompolnas guna melaporkannya, yakni pada bulan Februari lalu dan kamis minggu kemarin, Keluarga menilai banyak kejanggalan dan ketidakadilan dari proses sidang.
Menurut pengakuan Edih Kusnadi, "saya di paksa mengakui ketika dalam proses BAP oleh penyidik Polda Metro Jaya. Bahkan saya di pukuli agar mau menandatanganinya. Saya tidak tahan dengan kondisi saat itu, hingga akhirnya saya tandatangani", Kata edih.
Proses persidangan selama ini, anehnya barang bukti tidak dihadirkan. Apakah proses ini syah menurut hukum, kata ayah korban. Itu sebabnya kami mendatangi Komisi Yudisial agar dapat menjadi pertimbangan Hakim dalam memutuskan kasus seadill-adilnya.
Edih Kusnadi di jebloskan ke tahanan LP Cipinang dengan hukuman 10 Tahun lebih. Keluarga korban merasa hal ini adalah permainan beberapa Oknum. "Kami butuh keadilan, Kami butuh perhatian dari masyarakat Indonesia", ucap Kusnadi, ayah korban ketika di hubungi dari Ponsel.
Sementara itu, Jaringan Masyarakat Anti Penyiksaan Indonesia (JAPI), beberapa pekan lalu telah mengeluarkan pernyataan untuk menentang anti penyiksaan. Secara tegas JAPI mengajak masyarakat untuk menolak berbagai tindak penyiksaan dan tindakan lain yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Mendesak aparat Negara atau penegak hukum untuk tidak melakukan penyiksaan dan tindakan lain yang merendahkan martabat kemanusiaan dalam menjalankan tugasnya. Mendesak Pemerintah, Lembaga Legislatif dan Yudikatif untuk lebih serius mengimplementasikan Konvensi Menentang Penyiksaan dalam peraturan perundangan yang berlaku, serta mencabut peraturan perundangan yang berpotensi dilakukannya tindakan penyiksaan oleh aparat penegak hukum.
Mendesak untuk memberikan sanksi hukum yang tegas kepada aparat Negara penegak hukum yang melakukan tindakan penyiksaan dan merendahkan martabat kemanusiaan dengan menyediakan mekanisme hukum yang adil dan jujur.
Namun pengesahan ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia ini belum menjamin praktek-praktek penyiksaan di hapus dari Bumi Indonesia. Aparat penegak hukum masih melakukan tindakan penyiksaan, baik secara fisik dan psikis untuk mengorek keterangan pihak yang diduga pelaku suatu tindak kejahatan atau kriminal. Aparat Negara juga masih mempraktekkan tindakan penyiksaan untuk membungkam kebebasan berekspresi masyarakat.
UU No. 5 tahun 1998 sebagai dasar hukum yang memayungi hal ini belum bisa berlaku efektif karena belum ada aturan-aturan pendukung yang dapat mengimplementasikan isi konvensi, dan membawa pelaku penyiksaan dalam proses hukum.
“Hakim sudah dilaporkan ke KY pak, Saya tdk tahu lagi harus bagaimana?
Ini murni rekayasa, saya bisa buktikan itu, baca kronologi saya pak. Korban ada 2, Kurniawan dan Edih, Kurniawan keterangannya dipakai disamakan dengan Iswadi agar dapat bukti untuk dapat memproses, dia juga sedang proses Kasasi pak.” pungkas Edih. (bhc/dbs/rtm)
|