JAKARTA (BeritaHUKUM.com) – Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir pelaksanaan Pemilukada Kota Jayapura, Papua dan Kabupaten Pandeglang, Banten, pada 2010 lalu, telah menyedot anggaran negara. Elite politik telah membajak demokrasi dengan berbagai praktik korupsi untuk memuluskan pemenangan pasangan calon kepala daerah.
Demikian yang terangkum dalam jumpa pers yang berlangsung di Kantor ICW, Jakarta, Kamis (2/2). LSM antikorupsi tersebut memaparkan hasil riset dan evaluasi dari pelaksanaan Pemilukada Kota Jayapura dan Kabupaten Pandeglang dan Jayapura yang dilaksanakan pada 2010 lalu itu.
Menurut peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Apung Widadi, pemilukada Jayapura itu diduga menggunakan dana yang bersumber dari pendapatan retribusi daerah. Padahal, mestinya retribusi itu masuk ke kas daerah. "Ada tindakan pengalokasian proyek pembangunan kepada pengusaha kroni yang diduga untuk biaya kampanye Pemilukada," jelas dia.
Apung menyebutkan, empat dari tujuh pasangan calon berlatar belakang birokrat, sehingga mendorong mobilisasi birokrasi berjalan masif. Dana kampanye dalam pilkada di Jayapura selain didukung dari pengusaha pendukung salah satu calon, pasangan calon itu juga mendapatkan dukungan dana dari pengusaha miras di Papua.
Netralitas penyelenggara Pemilukada di Jayapura juga bermasalah, karena diduga KPU Jayapura dinilai tidak netral. Bahkan, Ketua KPU dan Panwaslu Pemilukada Jayapura 2010 menjadi tersangka suap untuk meloloskan pasangan incumbent.
“Untuk memperbaiki Pemilukada dalam mewujudkan demokratisasi di daerah, ICW merekomendasikan untuk menutup ruang membajak state resources dengan mendorong cuti panjang bagi incumbent. Selain itu, juga harus ada moratorium program bantuan hibah dan bantuan sosial di daerah, dan sanksi bagi pasangan calon yang menerima sumbangan dana kampanye,” tegasnya.
Selain itu, mendorong penegakan hukum korupsi untuk mencegah praktik korupsi politik dalam pilkada, yakni penyalahgunaan kekuasaan dana fasilitas negara, dan meningkatkan edukasi politik kepada pemilih agar mereka tidak selalu menjadi objek dalam pilkada.
"ICW juga mendukung langkah Kemdagri untuk mengatur tentang mahar politik dan aspek governance lainnya dalam proses pencalonan kandidat kepala daerah. Dengan begitu diharapkan tidak ada lagi pembajakan demokrasi," imbuh Apung.
Sementara itu, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Ade Irawan menyatakan bahwa elite politik lokal telah membajak pemilukada Kabupaten Pandeglang, Banten. "Pelaksanaan pemilukada di Pandeglang Banten tersebut belum berjalan secara demokratis. Pemilukada justru menjadi ajang elite lokal untuk membajak proses demokratisasi melalui barbagai praktik korupsi," kata dia.
Menurut dia, pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Pandeglang yang diikuti enam pasangan calon juga diwarnai sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK), akibat kecurangan sistematis, masif dan terstruktur. Dalam dua kali pemilihan pasangan incumbent, Erwan Kurtubi dan Heryani memperoleh suara terbanyak.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ICW pada 2011 lalu, ternyata ditemukan bahwa para elite politik lokal menggunakan berbagai cara untuk memenangkan persaingan, termasuk menggunakan anggaran negara baik APBD maupun APBN serta memobilisasi birokrasi yang dilakukan oleh pasangan incumbent.
"Mobilisasi birokrasi yang dilakukan incumbent dalam pemilukada di Pandeglang sebagai mesin pendukung dengan mengerahkan lurah dan camat. Terjadi pula jual beli suara di Pemilukada Pandeglang,” ungkap Ade.
Berbagai kecurangan yang ada dalam penyelenggaraan pemilukada, jelas dia, juga disebabkan tidak independennya dan buruknya kinerja Panwaslu dan KPUD. "Pasangan calon memengaruhi penyelenggara seperti KPU dan Panwaslu dengan menempatkan orang-orangnya atau menyuap, sehingga pemilukada tidak netral," tandasnya.(gnc/bie)
|