MATARAM. Berita HUKUM - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menyebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagai perusahaan negara sering mendapatkan tugas-tugas khusus, baik dalam pengertian yang positif maupun yang berarti bahwa ia melayani politik penguasa.
"Baik program yang tidak layak secara bisnis maupun pintu bagi kegiatan cari dana politik yang besar," kata Fahri kepada wartawan di sela-sela acara Halalbihalal Tahun 1439 H Ikatan Keluarga Samawa (IKS) Pulau Lombok di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (21/7).
Menurut politikus PKS ini, dilema BUMN di satu sisi sebagai alat negara, tapi di sisi lain sebagai medium kesejahteraan rakyat. Seperti mandat pasal 33 UUD 1945, BUMN adalah lambang dari adanya "dikuasai oleh negara", tetapi sering gagal melaksanakan "untuk dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
"Dikuasai sering, tapi tidak mencapai kemakmuran rakyat. Bahkan, sampai hari ini (terutama) dilema itu masih terjadi," cetusnya.
Fahri juga mengungkapkan kalau dirinya agak mengkhawatirkan cara pemerintah mengelola BUMN. Terutama setelah DPR membentuk Pansus Angket Kasus Pelindo 2 yang berakhir dengan meminta Presiden memberhentikan Menteri BUMN Rini Soemarno dan juga menolak menteri yang sekarang untuk hadir dalam rapat.
"Kita ingat, Pansus Angket yang dimotori oleh Fraksi PDIP ini memang terbukti bahwa dalam kasus Pelindo 2 memang ada korupsi dan telah ada tersangka (RJL) yang sampai sekarang masih bebas berkeliaran dan KPK diam saja tanpa tindakan. Seribu alasan dicari," kata politikus asal NTB itu.
Kasus Pelindo 2 tersebut, menurut Fahri menambah kuat argumen bahwa dilema BUMN itu memang nyata. Dan jika ada orang kuat yang terlibat, maka ia tak tersentuh, termasuk oleh KPK yang diam saja membiarkan temuan kerugian negara oleh BPK sebesar Rp 3,08 triliun terbengkalai begitu saja.
"Sekarang, dilema BUMN semakin nampak. Setelah disuruh melaksanakan ambisi pemerintah dengan menguras keuangan yang ada, BUMN akhirnya berhutang mencapai 5000 trilyun dan melebihi hutang pemerintah. Apa setelah hutang? Kita tahu," katanya.
Ia khawatir BUMN dalam masalah besar, mengingat hutangnya lebih besar dari hutang negara. Ditambah lagi, lembaga plat merah itu dijadikan tempat mangkal tim sukses.
"BUMN kini, dikelola tanpa pertanggungjawaban dan menjadi petugas operasi ekonomi komando dengan kewajiban menyiapkan dana bagi kegiatan politik penguasa," bebernya.
Bahkan, Wakil Ketua DPR Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu menyebut Rini sebagai Menteri BUMN, seenaknya mengeksekusi berbagai kebijakan dan berutang, yang akibanya kemudian menimbulkan banyak masalah bagi BUMN. Padahal, pengelolaan BUMN perlu pengetahuan, dan keberanian untuk mengakhiri dilema BUMN itu.
"Tetapi, kita akan terus melihat BUMN sebagai sapi perah politik, apabila dilema-nya tidak dihentikan. Inilah kekhawatiran kita sekarang di saat bergolaknya BUMN besar PLN, Pertamina, dan lain-lain," pungkas Fahri Hamzah.
Sementara diketahui, utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah sangat mengkhawatirkan. Terlebih dalam kondisi rupiah terpuruk saat ini, keuangan BUMN dalam kondisi yang membahayakan. Utang BUMN non lembaga keuangan tercatat 59 persen dalam bentuk mata uang asing dan 53 persen dipegang asing. Beban cicilan utang dan bunganya akan sangat membebani perusahaan.
Menurut data Bank Indonesia (BI) hingga triwulan-I tahun 2018, posisi utang BUMN non-lembaga keuangan saat ini mencapai 47,11 miliar dolar AS dan mengalami lonjakan signifikan sebesar 7,1 miliar dolar AS dalam dua tahun terakhir. Dengan menggunakan kurs hari ini, maka utang BUMN non-lembaga keuangan telah mencapai Rp677 triliun.
Dan jika digabung dengan utang lembaga keuangan publik, termasuk bank-bank BUMN yang banyak membiayai proyek infrastruktur, total nilainya sangat fantastis yaitu sebesar 325,92 miliar dolar AS, atau Rp4.682 triliun. Bahkan lebih besar dari utang pemerintah.(adv/jpnn/DPR/bh/sya) |