JAKARTA, Berita HUKUM - Masyarakat diserukan tak perlu takut mengkritik DPR RI, karena memang tak ada pasal yang mengaturnya di UU manapun. Yang dilarang adalah penghinaan terhadap DPR sebagai lembaga. Pasal penghinaan tidak saja ada dalam pasal UU MD3, tapi di KUHP juga diatur.
Kontroversi atas pasal penghinaan parlemen yang ada dalam UU MD3 kembali dijelaskan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah saat menjadi narasumber dalam Suara Parlemen di TVR Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/2).
"Kritik tidak ada dosanya. Tidak ada pasal yang mengatur kritik. Yang ada adalah pasal penghinaan. Penghinaan yang dimaksud adalah penghinaan terhadap tugas kelembagaan, bukan pada pribadi," tegasnya.
Fahri mencontohkan, yang dimaksud penghinaan terhadap parlemen adalah ketika seseorang dipanggil secara patut oleh DPR, tapi tak mau datang. Ini masuk kategori penghinaan terhadap parlemen. Misalnya, DPR membentuk pansus untuk menyelidiki suatu kasus. Orang yang tak mau datang setelah dipanggil DPR, maka itulah yang dimaksud penghinaan. Banyak Pansus yang dibentuk DPR, tapi banyak pula orang dan lembaga yang tak mau datang memenuhi panggilan pansus dengan berbagai alasan.
"Setiap orang bisa berhubungan dengan DPR. Misalnya dipanggil tidak datang. Padahal, dia tahu banyak atas suatu kasus yang sedang diselidiki DPR. Tidak datang berarti menghina DPR," jelas Fahri.
Ia menepis tudingan publik yang menyalahartikan pasal penghinaan ini. Menurutnya, orang yang menilai DPR membungkam rakyat lewat UU MD3 dipastikan tidak memahami demokrasi, tidak memahami trias politica, dan tidak memahami ketatanegaraan.
Sementara itu, menjawab pertanyaan hipotes, bila kelak presiden tak menandatangani UU MD3, Fahri kembali menjawab, UU ini tetap berlaku setelah 30 hari. Menkum HAM wajib mengumumkan UU yang baru disahkan DPR ini dalam Lembaran Negara.
Sebelumnya, Fahri Hamzah menegaskan, revisi kedua UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau MD3 harus berlaku. Setelah masuk dalam lembaran negara, maka UU ini harus ditaati oleh semua orang.
Fahri Hamzah (46) terpilih ke DPR RI sejak pemilihan umum legislatif Indonesia periode 2004-2009, periode 2009 - 2014, lalu periode ke tiga, tahun 2014 - 2019 melalui Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lewat daerah pemilihan NTB, tanah kelahirannya. Kini Fahri telah menegaskan bahwa ia pensiun sebagai anggota dewan dan tidak akan maju lagi sebagai anggota legislatif di Pemilu 2019 mendatang.
Dijelaskan Fahri, UU hasil revisi ini dibahas cukup lama antara DPR dengan pemerintah dan disahkan pekan lalu. Awalnya revisi atas UU MD3 hanya untuk menambah kursi pimpinan DPR.
Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly setelah melaporkan soal UU MD 3 kepada Presiden Jokowi di kantor presiden kemarin menyampaikan, Presiden Jokowi cukup kaget mendengar laporannya. Disampaikan juga, presiden belum menandatangani dan kemungkinan tidak menandatangi UU MD3.
Namun Fahri Hamzah berpendapat, tidak etis jika sampai presiden tidak menandatangani UU MD3. "Presiden mau apa? Ini soal pikiran, jadi jangan emosional, kita memerlukan pikiran-pikiran kenegarawanan," kata Fahri sembari menambahkan, muatan UU MD3 yang direvisi adalah buah pikiran yang benar. Sayangnya menurut politisi PKS ini, kita belum punya pemikir ketatanegaraan, sehingga banyak kekacauan.
Menurutnya, belum ditandatanganinya UU MD3 oleh Presiden Jokowi bukan mau citra-citraan. Dirinya mengaku bisa mengerti kalau Presiden Jokowi belum meneken UU MD3 sebagai pemberlakuan setelah disahkan DPR bersama pemerintah. "Bisa dimengerti karena ini memang berat, tetapi harus disahkan karena pemerintah ikut membahas," kata Fahri.
Dikatakan lagi, falsafah UU MD3 memang berat, sehingga jika belum seorang negarawan maka mereka tidak akan paham isi pasal-pasal UU MD3. "Tak ada yang berani menjelaskan ke presiden," katanya.
Padahal menurut dia, hak imunitas itu sudah ada dalam UUD 1945, bukan di UU MD3, sehingga hak imunitas anggota DPR sudah ada sejak dulu. Di seluruh dunia pun anggota parlemennya memiliki hak imunitas, diberi kekuatan supaya kuat mengawasi pemerintah yang kuat juga.
Fahri membantah setelah UU MD3 ini maka DPR anti kritik, DPR membungkam demokrasi dan sebagainya. "Tidak ada sejarahnya DPR kita anti kritik dan membungkam demokrasi seperti banyak disampaikan masyarakat. Kalau ada berpendapat seperti itu berarti jalan pikirannya belum nyampe sehingga tidak paham filsafatnya," kata Fahri.(mh/sc/DPR/bh/sya) |