ACEH, Berita HUKUM - Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Rakyat Aceh Membangun (GRAM), mengkritisi terkait Istri Gubernur Aceh, Niazah A Hamid yang sampai sekarang masih berstatus warga negara Asing.
"Ini menjadi sebuah tolak ukur bagi kita, bahwa begitu lemahnya undang-undang di Indonesia," demikian dikatakan Direktur LSM GRAM, Muhammad Azhar, kepada BeritaHUKUM.com, Jum'at (7/3).
Pemerintah Indonesia, Azhar menambahkan, diminta agar bisa lebih bijak dan tegas dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Karena posisi ibu Niazah A Hamid sekarang adalah sebagai istri orang nomor satu di Aceh, dan secara ex officio beliau juga menjabat sebagai Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) dan juga ketua Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) provinsi Aceh, dimana sumber dananya dari APBA.
"Bagaimana seorang dari negara asing bisa menjabat jabatan strategis yang didanai oleh keuangan Negara, secara hukum ini tidak dibenarkan," tegas Azhar.
Menurut Azhar, Gubernur Aceh Dr Zaini Abdullah tidak komit dengan perdamaian Aceh. Di sini, mereka hanya ingin memperkaya diri, dan tidak ada sedikitpun visi-misi mereka untuk membangun Aceh tercinta ini, apalagi menjaga perdamaian ini. Hal ini terbukti dari tidak adanya pembangunan apapun di Aceh. Visi-misi mereka hanya ingin mengeruk kekayaan Aceh dan kemudian dibawa ke Swedia.
"Dimana undang-undang dan aturan negara ini, sehingga begitu mudahnya diobok-obok dan juga dipermainkan, negara macam apa ini? Gak ada aturan yang jelas, bisa siapa saja masuk dan berkuasa di sini. Sungguh hebat betul Indonesia ini. Dengan kejadian ini orang bisa menilai bahwa betapa semakin lemah dan amburadulnya Indonesia," ucapnya.
Pun demikian, Azhar berharap pemerintah bisa menyelesaikan persoalan ini secepatnya, karna ini bisa berakibat fatal dan juga dapat mengacaukan perdamaian di Aceh. Rakyat Aceh bisa berasumsi bahwa Gubernur Aceh sekarang memimpin Aceh dengan setengah hati, dan bukan dengan keikhlasan yang sepenuhnya.
Dan rakyat, imbuhnya, juga bisa berasumsi bahwa kehadiran Zaini Abdullah di Aceh, tidak memiliki visi-misi membangun Aceh melainkan kehadiran mereka di Aceh hanya untuk mengeruk kekayaan di Aceh, dan kemudian dibawa ke Swedia setelah masa jabatannya berakhir ini akan menjadi bumerang bagi perdamaian di Aceh dan juga dapat memicu konflik baru.(bhc/sul)
|