JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua MPR-RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA., kembali memperjuangkan keadilan anggaran dan rekrutmen bagi guru keagamaan. Perjuangan, itu dilakukan Hidayat Nur Wahid, mengingat besaran anggaran dan rekrutmen guru agama, masih tertinggal jauh dari guru umum yang dikelola Kemendikbudristek. Karena itu, di hadapan Panja Pendidikan Keagamaan Komisi VIII DPR-RI, HNW sapaan akrabnya, meminta KemenPAN-RB meningkatkan koordinasi dengan Kementerian Agama serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mewujudkan praktik keadilan anggaran dan alokasi rekrutmen. Serta menuntaskannya secara bersama dengan Kementerian Keuangan.
Pada program Ngopi (Ngobrol Pendidikan Islam) bersama pejabat Kemenag di Jakarta Selatan dan Guru-Guru Agama di Dapil Jakarta II, pekan lalu kata HNW, Persatuan Guru Inpassing melaporkan kekurangan guru. Lalu, kemarin, pada Rapat Dengar Pendapat bersama Kemenag dan KemenPAN-RB, Dirjen-Dirjen di Kemenag juga melaporkan hal serupa terkait kurangnya rekrutmen Guru Agama, padahal KemenPAN-RB sudah memberi alokasi tersendiri.
"Ini adalah bukti adanya masalah koordinasi yang perlu diluruskan di antara kementerian, para pembantu Presiden untuk laksanakan visi dan misinya. Karena itu harus ada koordinasi antara KemenPAN-RB, Kemenag, Kemendikbudristek, dan Kemenkeu, di bawah koordinasi Menko PMK. Agar, minimnya anggaran dan rekrutmen guru agama bisa teratasi, dan memenuhi keadilan bagi seluruh pihak, juga hajat para murid terhadap pemenuhan hak mereka mendapatkan pendidikan Agama oleh Guru yang kompeten," disampaikan Hidayat yang juga Anggota Panja Pendidikan Keagamaan Komisi VIII DPR-RI, pada Rapat Panja Pendidikan Keagamaan dengan Kemenag dan KemenPAN-RB, Senin (21/11).
HNW menjelaskan, secara program dan anggaran, sejatinya Pemerintah sudah menyiapkan melalui program rekrutmen 1 juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun selain prosesnya yang bermasalah, penyerapannya selama lebih dari dua tahun ini juga masih rendah, di bawah 500.000.
Anehnya, di saat yang sama, Kemenag hanya mendapatkan formasi 9.459 eks guru tenaga honorer untuk bergabung sebagai PPPK. Padahal, berdasarkan data Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Kemenag, kebutuhan PPPK guru dan tenaga pendidikan madrasah mencapai 192.008 orang.
"Alokasi rekrutmen PPPK guru di Kemenag dan Kemendikbud jomplang sekali. Seharusnya Pemerintahan cukup lentur dan lincah (agile bureaucracy) sebagaimana diinginkan Presiden Jokowi, dengan dibangunnya sistem di mana kuota PPPK yang tidak terserap di Kemendikbud bisa segera dialokasikan untuk guru di Madrasah. Meskipun harusnya, sejak awal perencanaan, pembagian kuota itu sudah memperhatikan aspek profesionalitas dan keadilan," lanjutnya.
Anggota DPR-RI Fraksi PKS ini menekankan, anggapan dari KemenPAN-RB bahwa data guru dan tendik (tenaga pendidik) di Kemenag belum terpadu sehingga tidak bisa jadi rujukan untuk perencanaan rekrutmen, adalah keliru dan sudah dibantah oleh Dirjen Pendidikan Islam. Pasalnya sejak 2015, Kemenag sudah mengembangkan Simpatika (Sistem Informasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan) yang hingga saat ini semakin modern, bisa diandalkan, dan bisa diakses secara real-time.
"Kemenag sekarang sudah punya Simpatika yang sangat bagus dan reliable. Dalam proses rekrutmen PPPK Guru, KemenPAN-RB perlu mendudukkan bersama antara Dapodik Kemendikbud dengan Simpatika Kemenag untuk proses validasi dan sinkronisasi di antara keduanya. Agar kebijakan alokasi rekrutmen guru PPPK yang tidak adil itu bisa segera diakhiri," ,sambungnya.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menilai, peningkatan rekrutmen guru agama menjadi semakin dipentingkan. Mengingat banyaknya ketimpangan rekrutmen yang menyiratkan ketidakadilan terbuka, juga bermunculan kasus kenakalan/kejahatan anak-anak yang minim etika dan perilaku, yang secara data di KemenPPPA kasus kekerasan pada/oleh anak juga meningkat tajam pada setiap tahunnya. Hal tersebut bisa terjadi salah satunya karena dibiarkannya ketidakadilan rekrutmen dan kekurangan guru secara umum dan guru agama secara khusus.
Padahal, UUD NRI 1945 memberi amanat kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang menghormati Agama, di mana unsur terpenting dari tujuan Pendidikan Nasional adalah nilai-nilai dasar dalam Agama. Yaitu, peningkatan Iman, Taqwa dan Akhlaq Mulia. Itu jelas dan tegas disebutkan dalam pasal 31 ayat 3 dan 5 UUD NRI 1945. Dan komponen penting terwujudnya ketentuan UUD, itu antara lain keberadaan guru-guru Agama dengan terpenuhinya jumlah guru umumnya dan guru Agama pada khususnya. Dan penting ditegaskan lagi, bahwa UUD NRI 1945 pasal 31 ayat 4 sama sekali tidak menyebutkan boleh adanya diskriminasi anggaran maupun rekrutmen antara guru umum dan guru agama.
Konstitusi tertinggi yaitu UUD NRI 1945, kata HNW adalah rujukan Pendidikan. Didalam UUD tidak ada pembedaan antara pendidikan keagamaan dengan non-keagamaan. Sehingga kebijakan dan perlakuan oleh para pihak termasuk kementerian terkait, juga tidak boleh melakukan perbedaan dan diskriminasi.
"Karena itu harus ada keadilan baik dalam konteks anggaran maupun rekrutmen bagi guru Agama. Apalagi, guru agama, mempunyai peran penting mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Antara lain, meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka sangat penting segera dilakukan Koordinasi solutif KemenPAN-RB, Kemenag, Kemendikbud, Kemenkeu dan Bappenas di bawah arah Menko PMK, untuk wujudkan keadilan anggaran dan rekrutmen Guru” pungkasnya.(MPR/bh/sya) |