GRESIK, Berita HUKUM - Banyak contoh dari gerakan Muhammadiyah di mana amaliyah Islam itu membawa kemajuan peradaban yang disebut melahirkan Madinah al Munawaroh (Kota yang bercahaya) di Indonesia. Namun, menurut Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah kita belum sampai ke sana. Mengapa?
Ada beberapa hal yang disebut Haedar. Pertama, kita merasakan jumlah mayoritas muslim di negeri ini itu alhamdulillah kalau kegiatan ibadah mahdohnya masih luar biasa tetapi kita masih tertinggal dalam hal ekonomi. Ini menunjukkan piramida yang masih terbalik, padahal kalau ekonomi kita lemah kita secara ekonomi juga tidak akan kuat. Bahkan kecenderungan kalau ekonomi lemah tidak di backup dengan keimanan yang kuat menjadi tangan di bawah.
“Kita bangun kehidupan umat itu dalam muamalah duniawiyahnya semakin baik, untuk Gresik saya pikir amal-amal usaha kita juga harus diperkuat untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan umat kita,” terangnya.
Kedua, penguasaan iptek kita masih terus berjuang, karena human development indeks maupun tingkat daya saing kita masih di nomer 6 dan 7 di bawah negara-negara ASEAN. Bukan karena orang Indonesia dan anak-anak Indonesia tidak punya potensi untuk maju dan bersaing , boleh jadi karena kebijakan pendidikan kita gonta ganti tapi tidak berkesinambungan yang membuat kita makin maju dan berkualitas atau karena ada kecenderungan lain yang membuat bangsa dan umat menjadi umat dan bangsa yang bisa bersaing. Tugas kita umat Islam yang harus membawa kemajuan itu, maka jadikan masjid pun sebagai pusat kemajuan membangun khairu ummah.
Ketiga, tugas bersama untuk membangun kekuatan ukhuwah baik sesama kaum muslim atau sesama anak keluarga besar bangsa. “Bangsa yang besar itu ketika dia pecah akhirnya jatuh. Kita mengenal dulu Yugoslavia, terutama untuk generasi kita ya, 50 tahun ke atas, dulu Yugoslavia itu terkenal sekali. Di zaman Bung Karno itu bahkan menjadi dua kawan seiring sebagai penggerak negara-negara non blok, tetapi sekarang tinggal namanya pun mungkin tidak dikenal orang. Bahkan dulu Uni Soviet itu pecah menjadi 16 negara yang tinggal Rusia, biarpun Rusia tetap menjadi negara terbesar di dunia,” kisahnya.
“Intinya adalah bahwa kita akan menjadi negara maju, umat Islam akan menjadi khairu ummah jika kita ini punya kekuatan dalam perbedaan kita harus bisa membangun umat ini menjadi khairu ummah. Kadang kita ini masih belum bisa ke situ, perbedaan sesama muslim saja keras sekali. Sampai menerima tamu yang berbeda paham dan mazhab saja itu sering jadi masalah, padahal silaturahmi kan baik belum tentu kita sepaham. Tetapi bagaimana bila sesama umat Islam, kita bertemu saja itu menjadi masalah dalam kehidupan kita. Bagaimana kita berbagi pandangan agar pandangan kita semakin dekat kepada Islam yang dipahami bersama. Apalagi untuk hal-hal lain, ini penting untuk ajari bagaimana kita bisa berukhuwah bersatu dalam keberagaman tetapi juga keberagaman ini melahirkan sikap tawasuth, tawazun bahkan juga tasamuh. Biarpun beragam ya saling toleran, saling tengahan, kemudian juga saling menghargai satu sama lain. Karena apa? banyak pekerjaan berat kita untuk mengantarkan Islam dan peradaban Islam itu yang jauh lebih besar yang harus kita pikul bersama ketimbang perbedaan-perbedaan yang hidup di tengah kita,” papar Haedar.
Haedar berharap semua pihak, termasuk Pemerintah bisa arif bijaksana dalam menghadapi dan mengelola perbedaan ini. Yang terakhir, kita bisa sampai pada Madinah al Munawaroh jika kita punya proyeksi untuk membangun peradaban ini dengan pusat-pusat kemajuan.
“Alhamdulillah sekolah-sekolah kita ini mampu menjadi sekolah yang unggul, baik, dan menjadi contoh. Ini penting bagi kita Muhammadiyah,” ungkapnya.
“Saatnya kita membangun pusat-pusat amal usaha berkemajuan dan unggul karena kemajuan peradaban juga ditopang oleh pusat-pusat keunggulan,” pungkasnya.(muhammadiyah/bh/sya) |