Oleh: Jupri
LANGKAH PENEGAK hukum memberantas laku korupsi semakin garang. Penjatuhan sanksi pidana seumur hidup terhadap Akil Mochtar telah mencatat sejarah pemidanaan terberat bagi koruptor Tanah Air. Jauh mengalahkan pidana penjara Jaksa Urip dalam kasus suap Bantuan Likuidasi Bank Indonesia. Tak tanggung-tanggung, majelis hakim juga biasa menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak politik terhadap koruptor.
Berbagai upaya tindakan luar biasa penegak hukum patut kita apresiasi, terlepas dari pro-kontra beratnya sanksi pidana. Karena secara filosofi pemidanaan salah satunya bertujuan membuat efek jera bagi pelaku, di lain sisi untuk menakut-nakuti masyarakat agar tindak melakukan kejahatan serupa. Jadi bukan wujud balas dendam terhadap sang koruptor (teori absolut).
Akan tetapi, tujuan pemidanaan yang selama ini diimpikan dalam kenyataan, sulit diwujudkan di lapangan. Pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan masih sering "obral" remisi berujung pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus korupsi.
Padahal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan memberikan pengetatan pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.
Syarat pemberian remisi pelaku korupsi mengalami penambahan dalam PP Nomor 99 Tahun 2012. Pertama, bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator). Kedua, Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Kedua poin persyaratan yang sangat sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi.
PP Nomor 99 Tahun 2012 berlaku bagi terpidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah tanggal pengesahan, yaitu 12 November 2012. Sedangkan untuk yang divonis sebelum tanggal 12 November 2012, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam PP Nomor 28 Tahun 2006.
Lewat Pidana Tambahan.
Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat koruptor yang dikeluarkan Menteri Hukum dan HAM belakangan menimbulkan kontroversi. Hartati Murdaya mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat sekaligus terpidana kasus penyuapan Bupati Buol memperoleh pembebasan bersyarat, alasannya karena usianya sudah lanjut, membayar semua denda dan telah menjalani hukuman 2/3 meski bukan seorang justice collaborator.
Oleh karena itu, agar ke depan rasa keadilan masyarakat tidak tercoreng lagi dengan maraknya remisi berujung pembebasan bersyarat. Maka langkah progresif harus dilakukan. Caranya dengan menuntut terdakwa di muka sidang bukan hanya pidana pokok, tetapi juga dengan pidana tambahan pencabutan hak remisi koruptor.
Pertanyaan pasti muncul kemudian, apakah pencabutan hak remisi mungkin dilakukan? Kalimat tanya yang kurang lebih sama dengan pencabutan hak politik dipilih dan memilih terpidana korupsi. Hemat saya mengenai pencabutan hak politik yang menjadi perdebatan hangat banyak kalangan dan pencabutan remisi, bisa dilakukan lewat pidana tambahan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang pidana pokok dan pidana tambahan. Pencabutan hak politik masuk dalam kategori pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu bagi pelaku tindak pidana.
Lebih jauh, hak-hak yang bisa dicabut lewat keputusan hakim adalah hak menjabat segala jabatan atau jabatan yang tertentu, hak masuk pada kekuasaan bersenjata, hak memilih dan hak dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut undang-undang, hak menjadi penasihat, atau wali, menjadi wali pengawas, kuasa wali (curatele) atas anak sendiri dan hak melakukan pekerjaan yang ditentukan (vide Pasal 35 KUHP).
Sedangkan untuk pencabutan hak remisi berlandaskan pada pidana tambahan dalam undang-undang pemberantasan korupsi. Dimana telah kita ketahui bersama bahwa selain pidana tambahan dalam KUHP juga berlaku pidana tambahan lainnya.
Pertama, perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana dari tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula yang menggantikan barang tersebut.
Kedua, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Ketiga, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Point terkahir pidana tambahan inilah pintu masuk pencabutan hak remisi koruptor. Karena memberikan ruang hakim untuk menjatuhkan pencabutan hak-hak tertentu yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Artinya karena hak remisi narapidana diberikan pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM maka secara otomatis pasal 18 ayat 1 huruf d UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa diterapkan.
Dan sekali lagi tidak melanggar hukum dan hak asasi manusia terpidana korupsi. Sehingga seyogianya langkah progresif pencabutan hak-hak harus didukung, bukannya malah membelah sang perampok hak sosial, ekonomi rakyat.
Penulis adalah seorang Penggiat Antikorupsi di Makassar.(kpk/bh/sya) |