MEDAN, Berita HUKUM - Berkaitan dengan kedatangan Indonesian Coruption Watch (ICW) ke Komisi Yudisial (KY) untuk menyerahkan rekaman jejak hakim Ad hoc yang tersebar di 14 provinsi di Indonesia, termasuk Medan. karena kabar tersebut belum terdengar oleh pihak PN Medan, sehingga membuat pihak Pengadilan Negeri Medan terkejut, saat ditanyai media tentang hal tersebut.
ICW menyerahkan 84 data Hakim yang diambil dari Jambi, Bengkulu, Semarang, Manado, Padang, Mataram, Kendari, Surabaya, Serang, Bandung, Medan, Yogjakarta, Samarinda, dan Makasar, ternyata pihak PN Medan pun menyatakan itu menjadi hak organisasi tersebut.
"Saya belum mendengar hal tersebut. Jangankan ICW, masyarakat saja bisa melaporkan para hakim. Kalau memang niatnya positif itu bagus dan saya mendukung. Tetapi kenapa baru sekarang heboh, kenapa tidak dari kemaren - kemaren", ujar Juru Bicara PN Medan Ahmad Guntur di kantornya, Rabu (29/8).
Guntur yang tercatat pula sebagai hakim karir di Pengadilan Tipikor Medan ini menambahkan, "Meski dilaporkan, belum tentu laporan tersebut sesuai seperti yang dituduhkan. saya juga mengkritisi hal tersebut, kenapa pemantauan kritis beberapa hari belakangan ini hanya ditujukan kepada hakim Ad hoc saja dan tidak kepada hakim karir", tuturnya.
"Kapan pun punya data silahkan lapor. Seharusnya jangan dibeda - bedakan antara Hakim Ad hoc dan Hakim karir. Jangan karena diawasi Hakim Ad hoc, hakim karirnya jadi kebobolan. Ini kan soal prilaku Individu , jadi menyangkut personal bukan lembaga atau jabatan. Semua Hakim manusia, jadi pasti punya kesaiapan", ungkapnya.
Disinggung perihal tersebut, adakah pemanggilan yang dilakukan Ketua PN Medan kepada seluruh Hakim Tipikor di Medan tentang laporan ICW tersebut?, Guntur menjelaskan tidak ada. Sampai sore hari ini, Guntur juga menyatakan informasi dikalangan hakim tipikor belum juga mendapatkan informasi perihal laporan ICW kepada Komisi Yudisial.
Guntur juga enggan untuk menjawab pertanyaan - pertanyaan wartawan ketika ditanya, apakah ada beberapa hakim Ad hoc yang bermasalah di Medan?, " Saya tidak bisa mengomentari prilaku masing - masing individu hakim itu, karena Ketua PN juga tidak mengabari atau memberitahukan ke saya tentang laporan ICW terhadap hakim Ad hoc yang diantaranya berasal dari Medan tersebut", ujar Guntur.
Namun secara personal Guntur menyebutkan, dirinya sama sekali tidak tergangu dengan laporan tersebut. Tetapi ia menggaris bawahi bahwa, tanggapan kritis masyarakat terhadap hakim Ad hoc terebut, jangan bersifat menyeluruh, karena prilaku itu sifatnya personal.
Ditempat terpisah, Tirta Winata, salah seorang hakim Ad hoc Pengadilan Tipikor Medan yang dimintai komentarnya mengaku, belum mendapat laporan terkait hal tersebut. Sembari berjalan dari lantai dua hingga di lokasi parkir mobilnya itu. Tirta menyebutkan bahwa, belum tentu nama Medan yang disebut ICW yang berlokasi di Pengadilan Tipikor Medan tersebut.
"Saya mau makan siang ini. Yang jelas saya belum memperoleh informasi tersebut. Tetapi kadangkala penjabaran Medan konotasinya bisa saja mencakup Banda Aceh", ujarnya sembari berlalu.
Namun Tirta menegaskan, dirinya sebagai hakim Ad hoc di Medan cukup terganggu dengan penangkapan hakim Ad hoc Kartini di Semarang tersebut, dan timbulnya streotip masyarakat yang menyatakan seluruh hakim Ad hoc berprilaku sama.
"Saya pikir, tidak bisa untuk menundukkan permasalahan seperti itu. Ini kan personal, jadi jangan dikait - kaitkan bahwa semua hakim Ad hoc sama. Jujur saya sangat terganggu dengan pernyataan sebagian kalangan tersebut", ungkapnya.
Disinggung sikapnya, jika dalam waktu dekat salah seorang hakim Ad hoc di Medan tertangkap, dirinya menjelaskan tidak mempermasalahkan selama individu tersebut bersalah. "Saya tidak tahu. Saya belum makan siang ini", Pungkasnya sembari mengangkat ponsel dan masuk ke mobilnya.
Seperti yang diketahui, Peneliti hukum ICW Donal Fariz mengatakan, "Mereka yang dilaporkan tak hanya hakim Ad hoc saja tapi juga hakim karir yang bertugas di 14 pengadilan tipikor di atas. Dari penelusuran ICW bersama mitranya di 14 provinsi tersebut, hakim tipikor ini sangat krusial", ujarnya.
Alasan penelusuran ini tak lepas dari sistem seleksi hakim Ad hoc dan sertifikasi hakim karir untuk pengadilan tipikor yang dilakukan Mahkamah Agung, ternyata hal ini menimbulkan persoalan serius. Salah satunya MA kerepotan merekrut Hakim Ad hoc dan Hakim karir karena dikejar target.
"Makanya kita mengupayakan untuk merekam jejak mereka dari segi kompetensi, independensi, dan sampai masuk pada kemampuan Hakim itu sendiri", ujar Donal yang didampingi Wakil Koordinator ICW Emerson Yunto dan Juru Bicara KY Asep Rahmat Fajar di Jakarta, ketika menyampaikan rilis pada, Selasa (28/8) kemarin.
Alasan lainnya, sambung Donal, "ICW sudah melakukan eksaminasi 20 kasus korupsi yang tersebar di 10 pengadilan tipikor di Indonesia. Hasilnya ada persoalan yang cukup krusial ketika membaca keputusan majelisnya. Dari keputusan itu, ICW menelusuri bagaimana sosok Hakim", tambahnya.
Emerson menambahkan, dari pelaporan 84 hakim, ICW memetakan ke tiga masalah tersebut yakni terkait integritas, administratif, dan kualitas. Memang semua Hakim yang dilaporkan ada yang kurang. Tapi yang buruk paling besar "Sekitar 70 persen", ucap Emerson.
Sementara itu Asep mengapresiasi langkah yang dilakukan ICW, Aksi lembaga pegiat anti korupsi ini sejalan dengan KY yang melakukan investigasi terhadap hakim di empat pengadilan tipikor, tetapi tidak termasuk pengadilan tipikor di Semarang.
Selanjutnya, menurut Nuriono selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum Sumatra Utara mengatakan ke pewarta BeritaHUKUM.com, "Penangkapan ini sebagai suatu euforia, Ini semacam euforia saja, dan dilihat dari lembaga - lembaga lain juga ikut melakukan hal ini. dan seharusnya hal seperti ini musti terpublikasi secara menyeluruh, agar masyarakat dapat mengetahui kenapa Hakim bisa berbuat hal seperti ini", ujar Nuriono di rungan kerjanya Kantor LBH Medan, Rabu (29/8).(bhc/put)
|