JAKARTA, Berita HUKUM - Keluarga dan dua Istri terdakwa kasus dugaan korupsi proyek fiktif bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menyambangi kantor Komisi Yudisial, Selasa (14/5). Mereka adalah istri terdakwa Ricksy Prematuri, Ratna Irdiastuti dan istri terdakwa Herland Bin Ompo, Sumi. Mereka melaporkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta yang mengadili kasus tersebut dengan didampingi kuasa hukum mereka Nur Ridhowati.
Menurut Nur, Majelis Hakim kasus ini diduga melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim selama proses persidangan berlangsung bagi Ricksy dan Herlan.
Hal pertama, kata Nur, adalah tindakan yang diduga diskriminatif dari Majelis Hakim terhadap semua terdakwa kasus tersebut. Yakni, perbedaan penahanan selama para tersangka menjalani proses persidangan, dimana terdakwa Ricksy dan Herlan ditahan sebagai tahanan titipan kejaksaan, sedangkan terdakwa lainnya tidak ditahan.
"Sama-sama terdakwa, tapi mereka di dalam tahanan sedangkan lima lagi di luar tahanan. Bahkan kami berkali-kali minta penangguhan penahanan, tapi tidak dikabulkan," tambah Nur.
Selain itu menurut Nur, Majelis Hakim juga tidak adil dalam memberikan waktu bagi terdakwa dalam menghadirkan saksi meringankan. Dia mengatakan untuk menghadirkan saksi meringankan pihaknya hanya diberi waktu satu minggu. Sementara Jaksa Penuntut Umum diberikan waktu yang panjang yaitu sekitar empat bulan. Nur menambahkan karena waktu yang diberikan sangat singkat, permintaan pihaknya untuk mengajukan ahli bioremediasi dari Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), yakni Prof.Dr. Udiarto pun ditolak Majelis Hakim.
"Dari 24 saksi yang disiapkan tim kuasa hukum, hanya 9 saksi yang bisa dihadirkan. Waktu yang diberikan begitu mepet, jadi tidak semua saksi bisa kita hadirkan. Yang paling kami sesalkan ketika kami ingin menghadirkan ahli bioremediasi malah ditolak. Jadi saksi-saksi dari kami tidak bisa diakomodir karena waktu yang begitu mepet," tegasnya.
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menegaskan akan menindaklanjuti laporan ini. Pihaknya akan menelaah lebih lanjut laporan dari para keluarga terdakwa tersebut. Jika dalam dokumen dan rekaman persidangan, KY menemukan adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, dia berjanji akan memberikan sanksi tegas kepada Majelis Hakim tersebut.
"Saya terima pengaduan ini, kontennya nanti saya lihat seperti apa. Nanti kita lihat, apakah Majelis Hakim melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim atau tidak. Apapun yang terjadi di sidang ya sudah. Tapi kami akan melihat ada apa ini. Namun KY bukan untuk mengubah putusan dan tidak bisa membatalkan putusan," imbuhnya.
Terdakwa kasus proyek fiktif bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang juga Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) Ricksy Prematuri divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair 2 bulan kurungan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Selain itu, Majelis Hakim juga mewajibkan PT GPI untuk membayar uang ganti rugi sebesar US$ 3,089 juta. Majelis Hakim juga menghukum 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan penjara kepada Herland Bin Ompo yang merupakan Direktur PT Sugimita Jaya, kontraktor proyek bioremediasi PT CPI. Majelis Hakim juga mewajibkan PT Sumigita Jaya untuk membayar uang pengganti US$ 6,9 juta.(kus/ky/bhc/opn) |