JAKARTA, Berita HUKUM - Hakim Konstitusi memberikan sejumlah pertanyaan terkait proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) kepada tiga orang saksi fakta yang dihadirkan oleh Pemerintah dalam sidang yang digelar pada Kamis (23/9). Tiga orang saksi fakta yang dihadirkan Pemerintah tersebut, yakni Widyaiswara Utama Kementerian Hukum dan HAM Nasrudin, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (FH Unnes) Rodiyah, dan Kepala Pusat Perencanaan Hukum Nasional Kemenkumham Joko Puji Raharjo. Sidang ini digelar untuk Perkara Nomor 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 4,6/PUU-XIX/2021. Agenda sidang adalah mendengarkan Keterangan Saksi Pemerintah.
Dalam sidang pleno dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan kepada Rodiyah yang memberikan kesaksian terkait penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD) "Penerapan RUU Cipta Kerja di Indonesia". Ia menanyakan apakah saksi pernah diperlihatkan rancangan Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dalam FGD yang berlangsung pada 26 Januari 2020 di Surakarta. "Ketika itu, pernah tidak diperlihatkan ada Naskah Akademik atau draft awal rancangan undang-undang atau baru hanya sekadar jual beli gagasan?" cecar Saldi.
Terkait pertanyaan Saldi tersebut, Rodiyah mengungkapkan bahwa pada FGD tersebut tidak diperlihatkan secara lengkap Naskah Akademik maupun RUU Cipta Kerja. "Karena (FGD) memberikan materi dan konsep-konsep dari empat pembicara," jawabnya.
Saldi pun mempertanyakan hal serupa kepada Joko Puji Raharjo yang sebelumnya telah memberikan kesaksian terkait adanya pertemuan guna membahas mengenai RUU Cipta Kerja di Yogyakarta, Makassar, dan Medan.
"Ketika melakukan rangkaian pertemuan yang Bapak mengakui hadir dalam pertemuan itu, apa sudah ada Naskah Akademik atau sekadar ingin mendiskusikan bahwa ide tersebut akan dimasukkan ke dalam prolegnas?" tanya Saldi.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Joko mengungkapkan bahwa pertemuan di tiga kota tersebut guna melengkapi naskah akademik yang ada. Ia menyebut Naskah Akademik sudah disusun oleh pemrakarsa, yakni Kemenko Perekonomian. "Saya mendengar sudah ada Naskah Akademik, tapi tidak melihat (Naskah Akademik tersebut)," jawabnya.
Joko pun menjawab pertanyaan Saldi terkait klaster undang-undang yang diketahuinya. Ia menyebut ada 11 klaster undang-undang dan ada 79 undang-undang yang saling terkait.
Terkait klaster undang-undang dalam RUU Cipta Kerja, Saldi pun tak luput mempertanyakan kepada Nasrudin yang merupakan Widyaiswara Utama Kementerian Hukum dan HAM. Saldi mempertanyakan banyak bab yang diserahkan Pemerintah kepada DPR.
"Ada enam bab dan 11 klaster undang-undang. Pasalnya saya lupa, Yang Mulia," jelas Nasrudin menjawab pertanyaan Saldi. Ia pun mengakui adanya penambahan pasal usai persetujuan bersama antara Pemerintah dengan DPR.
Saksi Fakta
Dalam sidang tersebut, Pemerintah menghadirkan Widyaiswara Utama Kementerian Hukum dan HAM, Nasrudin sebagai saksi fakta dalam rangka pembentukan UU Cipta Kerja. Dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja, Nasrudin menjadi wakil yang ditugaskan Kemenkumham untuk mengawal dan memastikan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Saya mengikuti proses pembentukan UU Cipta Kerja mulai dari tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap pembahasan di DPR, yang dilanjutkan dengan penerapan tahap pengesahan oleh Presiden, pengundangan dan penyebarluasan atau sosialisasi," jelas Nasrudin menanggapi Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Pada tahap perencanaan, Nasrudin terlibat langsung dalam penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) untuk memastikan bahwa penyusunan Naskah Akademik dilakukan sesuai dengan teknik dan sistematika Naskah Akademik yang tercantum dalam Lampiran I UU No. 12/2011 yang terdiri atas judul, kata pengantar dan isi, Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Teoritis dan Praktis Empiris, Bab III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait, Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis, Bab V Jangkauan Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup RUU Cipta Kerja, Bab VI Penutup.
"Kami memastikan bahwa sistematika itu sudah dituangkan dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja. Selanjutnya dalam penyusunan Naskah Akademik, kami lebih fokus untuk memastikan bahwa pasal-pasal dari 76 undang-undang yang diubah, dihapus, atau ditambah yang dituangkan dalam UU Cipta Kerja yang telah dilakukan evaluasi dan analisis yang mendalam dan komprehensif agar UU Cipta Kerja dapat diimplementasikan dalam rangka menciptakan lapangan kerja melalui kemudahan usaha, kemudahan perizinan, kemudahan berinvestasi serta kemudahan dalam mengembangkan dan menyelenggarakan usaha mikro kecil dan menengah," urai Nasrudin.
Nasrudin juga memastikan bahwa RUU Cipta Kerja diterapkan dalam Prolegnas jangka menengah dan Prolegnas-Prolegnas Prioritas Tahun 2020. Lainnya, materi Bab III Naskah Akademik yang memuat evaluasi dan analisis pasal-pasal dari 76 undang-undang yang diubah, dihapus atau ditambah, telah dituangkan ke dalam RUU Cipta Kerja.
FGD “Penerapan RUU Cipta Kerja”
Sementara itu saksi lainnya, yakni Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (FH Unnes) Rodiyah memberikan kesaksian terkait penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD) “Penerapan RUU Cipta Kerja di Indonesia” pada Ahad, 26 Januari 2020 yang diselenggarakan Kemenko Perekonomian di Surakarta.
Rodiyah menghadiri, menyaksikan, memahami, mengikuti secara aktif dalam proses (FGD) tersebut. Para peserta FGD berjumlah 47 orang yang berasal dari Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Kementerian Sekretaris Negara, sejumlah kampus negeri dan pihak-pihak lainnya. Maksud dan tujuan FGD adalah untuk menindak-lanjuti Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Perancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2020 yang telah disepakati dan disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR.
"Tujuan penyelenggaraan FGD adalah untuk mendapatkan masukan dan/atau panduan pandangan akademisi sekaligus beberapa alternatif solusi dari potensi hambatan atau kendala dalam penerapan RUU Cipta Kerja di Indonesia beserta kebijakan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang," ujar Rodiyah.
Selanjutnya Rodiyah menyampaikan kesimpulan hasil FGD dari para peserta FGD. Di antaranya dari Kepala Biro Hukum, Persidangan dan Humas Kemenko Perekonomian, Ketut Hadi Pratama yang menyatakan Omnibus Law selain untuk meningkatkan iklim investasi, juga bertujuan untuk membuka lapangan pekerjaan. Omnibus Law secara sederhana merupakan kodifikasi hukum, semua peraturan terkait perizinan akan disederhanakan dan dikembalikan kewenangannya kepada Presiden. Dengan demikian, Omnibus Law akan menghapus, mencabut pasal-pasal dalam undang-undang yang terkait dengan perizinan.
Kesimpulan berikutnya, kata Rodiyah, dari Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, Benny Rianto yang menyatakan Naskah Akademik dalam RUU Cipta Kerja paling sedikit harus memuat pendahuluan, latar belakang dan tujuan penyusunan kajian teoritis dan praktik empirik evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, landasan filosofi, sosiologis yuridis, jangkauan arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan undang-undang.
Saksi Penyusunan UU Cipta Kerja
Selanjutnya, Saksi Fakta Joko Puji Raharjo S.H. M.Hum menyampaikan kesaksian untuk Perkara 6/PUU-XIX/2021. Joko menyaksikan, memahami, mengikuti terkait proses penyusunan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Berkaitan dengan proses pengusulan dalam Prolegnas, ungkap Joko, pada 21 November 2019 di Badan Pembinaan Hukum Nasional diselenggarakan rapat untuk menyusun konsep awal daftar RUU Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024 serta RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2020 yang merupakan usulan dari pemerintah.
"Usulan ini disusun berdasarkan prioritas nasional dalam rangka untuk mendukung pembangunan nasional, di samping itu adanya ketersediaan data dukung atau usulan dari masing-masing kementerian dan lembaga," jelas Joko.
Setelah itu, sambung Joko, ditetapkanlah kriteria RUU yang diprioritaskan pada 2020 dalam rangka peningkatan perekonomian, mengakomodasi perkembangan teknologi digital, penegakan dan pelayanan hukum, sosial budaya dan kesejahteraan rakyat, kesiapan teknis terkait dengan RUU, dan lainnya. "RUU Cipta Kerja dimasukkan dalam kategori sangat diprioritaskan, karena memenuhi kriteria mendukung pembangunan nasional," jelas Joko.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara 91/PUU-XVIII/2020 Hakimi Irawan Bangkid Pamungkas, dkk. melakukan pengujian formil UU No. 11/2020. Mereka mendalilkan, alasan Mahkamah Konstitusi memberikan tenggat 45 hari suatu undang-undang dapat diuji secara formil ke Mahkamah Konstitusi, adalah untuk mendapatkan kepastian hukum secara lebih cepat atas status suatu Undang-Undang apakah dibuat secara sah atau tidak. Sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Sementara para Pemohon Perkara 103/PUU-XVIII/2020 adalah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), diwakili oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardian. Mereka melakukan pengujian formil UU No. 11/2020 dan pengujian materiil UU No. 11/2020 antara lain Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 59, Pasal 61, Pasal 61A, Pasal 66, dan Pasal 88.
Sedangkan para Pemohon Perkara 105/PUU-XVIII/2020 adalah Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia dan 12 Pemohon lainnya. Mereka melakukan pengujian formil dan pengujian materiil UU No. 11/2020 antara lain Bab IV Bagian Kedua: 1) Pasal 81 angka 1 (Pasal 13 ayat (1) huruf c UU No.13/2003) mengenai pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja perusahaan. Selain itu Pasal 81 angka 2 (Pasal 14 ayat (1) UU 13/2003) bahwa lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Sementara permohonan Perkara Nomor 107 PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama 14 Pemohon lainnya. Para Pemohon juga melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, UU Cipta Kerja bertentangan dengan syarat formil pembentukan undang-undang dalam tahap perencanaan. UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas keterbukaan. Berikutnya, permohonan Nomor 4/PUU-XIX/2021 diajukan R. Abdullah selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia serta 662 Pemohon lainnya. Permohonan ini memecahkan rekor sebagai permohonan dengan Pemohon terbanyak sepanjang sejarah pengujian UU di MK. Para Pemohon mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja.
Kemudian para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 Riden Hatam Aziz dkk melakukan pengujian formil UU Cipta Kerja. Menurut para Pemohon, pembentukan UU Cipta Kerja tidak mempunyai kepastian hukum. Secara umum pembentukan UU a quo cacat secara formil atau cacat prosedur. Untuk itulah, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan membatalkan keberlakuan UU tersebut. (MK/NanoTresnaArfana/Lulu/LA/bh/sya) |