JAKARTA, Berita HUKUM - Rencanannya Menteri BUMN Rini Soemarno sedang mengebut pembentukan holding untuk 6 sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk Perusahaan Perseroan (Persero). Arief Poyuono selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu menuding, rencana Holdingisasi BUMN tersebut sebagai agenda besar Menteri BUMN Rini Soemarno untuk menjual dengan mengobral murah perusahaan pelat merah ke pihak asing.
Rencana pembentukan holding BUMN dituding oleh Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, "adalah sebagai agenda besar Menteri BUMN Rini Soemarno, karena berniat untuk menjual perusahaan pelat merah ke pihak asing." ungkap Arief, Selasa (19/4).
Apalagi menurutnya, Menteri Rini disebut tidak berniat melantaikan perusahaan BUMN di bursa, melainkan hanya mencatatkan obligasi pasar modal. Dimana artinya, semua BUMN akan mengalami resiko baik itu kerugian dan penurunan saham hanya karena mis manajemen, soalnya modal masuk lagi ke Pemerintah.
Rencana holding untuk 6 sektor BUMN yaitu; sektor migas, tambang, keuangan, jalan tol, perumahan, konstruksi serta rekayasa konstruksi. Arief Poyuono juga mengatakan bahwa, "Menteri BUMN pernah berjanji holdingisasi ini tidak dimaksudkan untuk menyeret perusahaan pelat merah melantai di bursa atau melakukan initial public offering (IPO). Selain itu menekankan, pembentukan holding ini harus 100% dimiliki negara. Sehingga, jika kemungkinan dicatatkan di bursa maka hanya untuk obligasi, bukan untuk sahamnya." ungkap Arief Poyuono.
"Itu cara dia (Menteri Rini) untuk menjual bulat-bulat BUMN kita ke asing dengan kedok holdingisasi itu. Apalagi yang boleh melantai di bursa hanya obligasi, padahal obligasi itu kan Surat utang," jelas Arief Poyuono, yang juga sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Arief menyayangkan niat Menteri BUMN- Rini untuk mencatatkan penawaran obligasi pada investor di lantai bursa. Karena menurutnya, investor yang membeli obligasi Holding BUMN di pasar modal tidak mempunyai risiko atau menanggung beban utang Holding BUMN jika terjadi miss manajemen atau merugi. Biasanya jika terjadi default membayar utang obligasi hanya boleh dilakukan 1 kali repo.
"Itu untuk menunda pembayaran bunga atau jatuh tempo obligasi dan selanjutnya, pihak investor pemegang obligasi akan minta obligasi mereka di konversi saham holding BUMN, yang mana investor ini bisa dari asing atau dalam negeri," urainya.
Berbeda dengan misalnya holding BUMN itu melakukan Go publik dan melantai dibursa saham, dengan penawaran Saham holding BUMN kepada publik, maka pemegang saham publik akan sama-sama menanggung resiko kerugian Holding BUMN, yang melantai dibursa Saham. Penjual Obligasi sebenarnya tidak mau ambil resiko, soalnya obligasi itu hutang, beda dengan BUMN yang diprivastisasi.
"Selain juga Meneg BUMN sedang melakukan jebakan Batman pada Presiden dengan Pembentukan Holding BUMN, Langkah Menteri Rini Soemarno melakukan holdingisasi perusahaan BUMN disinyalir ingin mencari aman dan menjadikan BUMN sebagai bancakan elit-elit politik. Ini satu cara juga untuk mencari aman dalam menjadikan BUMN sebagai bancakan," tegasnya.
Dan, dengan Holding BUMN, maka anak perusahaan yang bergabung dalam Holding sudah tidak tunduk pada Undang-undang Keuangan Negara, yang menghilangkan fungsi audit, pengawasan oleh BPKP dan jika ada korupsi anak perusahaan Holding tidak tunduk pada UU Tipikor, "Jadi sangat jelas agendanya, kemungkinan untuk Obral murah BUMN atas dasar holdingisasi BUMN," cetusnya lagi.
"Artinya akan lebih mudah untuk menjarah BUMN tersebut. Setiap keputusan untuk mengeluarkan uang guna keperluan, akan keluar secara tidak jelas, karena mereka tidak perlu dipertanggung jawabkan ke negara sebagai pemegang saham," jelasnya.
Berbeda dengan BUMN yang tidak holding. Dia masih terkena dan patuh terhadap UU Keuangan Negara dan Tipikor kalau nanti suatu saat ada penyelewengan. Itu yang terpenting.
"Dan kemudian nanti misalnya terjadi penyelewengan di anak perusahaan BUMN yang berada di holding, perusahaan tersebut tidak bisa dijerat dengan pasal korupsi. Karena hanya bisa dijerat dengan pasal pidana biasa. "Biasanya menggunakan pasal penggelapan. Itu pasti hasilnya enggak maksimal," pungkas Arief Poyuono, sebagaimana rilis pers yang diterima pewarta BeritaHUKUM di Jakarta pada, Selasa (19/4).(bh/mnd) |