JAKARTA, Berita HUKUM - Tersangka kasus dugaan penerimaan suap penganggaran proyek pengadaan Al Quran dan Laboratorium Kementerian Agama, Zulkarnain Djabar mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana untuk perkara ini digelar Selasa (27/8).
Zulkarnain Djabar pada sidang kali ini diwakili Andi Muhammad Asrun selaku kuasa hukumnya menyampaikan bahwa hak konstitusional Pemohon telah dirugikan dengan diterapkannya Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Alasannya, Pasal 12 UU Tipikor tidak memiliki kepastian hukum. Dengan Pasal 12 UU Tipikor itu pulalah Pemohon didakwa sebagai penerima suap proyek pengadaan Al Quran dan Laboratorium Kementerian Agama.
Asrun melanjutkan bahwa Pemohon menilai Pasal 12 UU Tipikor tidak memenuhi standar sebagai the rules of law principles sebagaimana dirumuskan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa. Asrun pun menegaskan bahwa pasal tersebut telah menjelma menjadi suatu norma tanpa batas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Hal itu disebabkan bunyi frasa “patut diduga” dalam poin-poin dalam pasal tersebut menimbulkan konsekuensi hukuman kepada Pemohon menjadi lebih tinggi dibandingkan Pasal 5 UU Tipikor.
“Bahwa Pemohon telah dijatuhi hukuman dari ketentuan yang menggunakan frasa ‘patut diduga’ sebagaimana dibuat dalam Pasal 12 UU Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, norma Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merujuk pada yurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi sejak putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan Nomor 11/PUU-V/2007 dan pasal selanjutnya telah menimbulkan kerugian hak dan atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi,” jelas Asrun di hadapan panel hakim yang diketuai Hamdan Zoelva.
Bunyi frasa “patut diduga” pada Pasal 12 UU Tipikor poin a sampai i, lanjut Asrun, telah mengantar majelis hakim menghukum Pemohon dengan hukuman yang sangat tinggi tanpa disandarkan pada mekanisme bukti yang memadai. Asrun berargumen kata “diketahui” dengan frasa “patut diduga” memiliki arti yang jauh berbeda. “Elemen ‘diketahui’ adalah istilah yang berkenaan dengan kesengajaan atau dolus dari pelaku tidak berkorupsi dan elemen ‘patut diduga’ diartikan sebagai kealpaan atau culpa,” papar Asrun.
Pada KUHP, masih papar Asrun, pengaturan delik kesengajaan dan kealpaan diatur dalam pasal yang berbeda. Hal itu berbeda dengan Pasal 12 UU Tipikor yang menyatukan unsur-unsur kesengajaan dan unsur kealpaan dalam satu pasal sehingga menimbulkan ketidakpastian. “Ini bertentangan dengan sifat universal dari pengaturan norma hukum pidana, Yang Mulia,” tukas Asrun.(yna/mk/bhc/rby) |