JAKARTA-Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan praktik korupsi dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas dengan munculnya indikasi-indikasi rekayasa dan konspirasi anggaran antara sekolah dan Dinas Pendidikan. Semua ini memang tidak semuanya dapat dibuktikan, karena ketidaktransparanan transaksi sekolah.
Hal ini terungkap dalam penyerahan bukti kejanggalan penggunaan anggaran sekolah oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Aliansi Orang Tua Peduli Pendidikan Indonesia (APPI). Pembuktian yang tersusun dalam satu bundel dokumen itu terkait dengan penggunaan anggaran yang terindikasi korupsi, tidak akuntabel dan berpotensi memicu praktik korupsi di SMPN 1 Jakarta (RSBI), di gedung Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kamis (18/8).
Koordinator Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Hendri mengatakan, dokumen yang diserahkan adalah ulasan anggaran dan belanja dana Sumbangan Rutin Bulanan (SRB) serta Sumbangan Peserta Didik Baru (SPDB) SMPN 1 Jakarta (Cikini).
Adapun rincian kejanggalan-kejanggalan dalam penggunaan anggaran di SMPN 1 Jakarta, yakni dana insentif yang diberikan SMPN 1 Jakarta kepada pengawas RSBI Jakarta Pusat sebesar Rp 1 juta pada 18 Oktober 2010. "Ini bentuk gratifikasi yang diberikan pihak sekolah (kepala sekolah dan komite sekolah) kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Suku Dinas Jakarta Pusat," ujar Febri Hendri .
Padahal, imbuh dia, hal ini bertentangan dengan UU Antikorupsi yang menyebutkan PNS tidak boleh menerima dana apa pun dari masyarakat. Terlebih, pengawas RSBI tak berhubungan langsung dengan kegiatan sekolah. Begitu pula tidak juga ada anggaran bagi pihak pengawas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS).
Bukti lainnya adalah keberadaan dana transpor untuk keperluan Monitoring, evaluasi, dan supervisi pada 23 Desember 2010 sebesar Rp 9 juta. Meski tercantum dalam APBS, hal ini di luar logika kebutuhan pengeluaran transpor.
Dana Penilaian
Yang lebih menarik, pada 8 Desember 2010 bendahara SMPN 1 Jakarta juga mengeluarkan dana Rp19,8 juta untuk membiayai Penilaian Kinerja Kepala Sekolah (PKKS) SMPN 1 Jakarta. Pengeluaran ini sebenarnya tercantum dalam alokasi APBS, tetapi kemudian terasa janggal karena jumlahnya dinilai terlalu besar untuk membiayai kegiatan seperti itu.
Selain itu, dana sumbangan rutin bulanan (SRB) dan SPDB juga dialokasikan untuk konsumsi makan siang guru dan karyawan sebesar Rp 31 juta untuk periode Juli 2010 sampai Juni 2011. Padahal, dalam APBS SMPN 1 Jakarta poin 5.b.10 telah disiapkan anggaran untuk keperluan tersebut sebesar Rp 52 juta yang bersumber dari dana Biaya Operasional Pendidikan (BOP). "Ke mana dana makan dan minum harian pegawai yang berasal dari dana BOP?" jelasnya.
Belum lagi pada 16 Desember 2010, bendahara sekolah itu mengeluarkan biaya transpor untuk rapat dinas saat penetapan nilai rapor semester 1 sebesar Rp3,15 juta. Pengeluaran ini aneh, karena apakah sekolah perlu mendapatkan persetujuan dinas pendidikan atau Suku Dinas Pendidikan untuk menetapkan nilai rapor murid RSBI.
Atas laporan tersebut, Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Agus Suradika mengatakan, pihaknya masih akan mempelajari isi dari dokumen tersebut. Ia berjanji, akan segera memberikan keterangan lanjutan setelah selesai mempelajari isi dokumen tersebut.
"Saya selalu sambut baik diskusi semacam ini. Tapi saya harap ICW tidak menghakimi dan saya tidak mau mengatakan seseorang terlibat korupsi atau tidak sebelum bisa dibuktikan. Segera saya pelajari dan sampaikan, paling lambat 14 hari dari sekarang," tutupnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, kedatangan ICW dan APPI ini terkait dengan tantangan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto kepada kedua LSM ini untuk membuktikan tudingan korupsi dana pendidikan di lingkungannya. ICW pun melakukan investigasi dan menemukan sejumlah bukti nyata adanya dugaan korupsi itu.(mic/nas)
|