Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Opini Hukum    
MP3EI
IEDS: Soal MP3EI, SBY Reaktif dan Responsif Pada Pemilik Modal
Friday 25 Oct 2013 21:24:33
 

Ilustrasi. Prinsip dasar, strategi utama, dan inisiatif strategis MP3EI dalam rangka mewujudkan Visi Indonesia 2025.(Foto: ristek.go.id)
 
Oleh: Musyafaur Rahman
Peneliti IEDS

Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kembali menegaskan mengenai progres Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan pemerintah bukan pepesan kosong justru mengingatkan kita betapa pemerintah saat ini cenderung reaktif dan responsif, ketika berhadapan dengan kepentingan pemilik modal dan pencitraan politik dibandingkan kepentingan masyarakat.

Reaktif mengingat kritik keras mengenai program MP3EI semakin mencuat terkait dengan gaung hasil pertemuan APEC yang digelar di Bali menunjukkan bahwa komitmen Indonesia untuk menggelar perdagangan bebas di kawasan yang dinilai merupakan persetujuan atas liberalisasi di segala bidang.Sementara MP3EI sendiri masih menghadapi banyak hambatan, termasuk dalam tataran peraturan perundangan dan pelaksanaan di lapangan yang mendapat tantangan masyarakat.

Responsif bagi pemilik modal , karena kritik dan pencitraan buruk atas mandeknya MP3EI akan berimbas pada ketidakpercayaan investor swasta dan asing terhadap pemerintahan SBY dan juga bentuk pertanggungjawaban pemerintah terkait ratusan trilyun investasi yang sudah dikucurkan pihak swasta, maupun asing untuk program tersebut.

Padahal publik mencatat berbagai regulasi terkait MP3EI masih mandek di DPR (*).

Salah satunya adalah UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Melalui UU ini, prosedur pengadaan tanah dilakukan melaui musyawarah, tetapi jika tak ada kesepakatan, maka pemerintah akan menitipkan ganti rugi untuk si pemilik tanah itu di pengadilan. UU ini dinilai para pengamat dan aktivis menjadi jalan bagi pemerintah untuk memuluskan perampasan tanah rakyat atas nama pembangunan yang mengingatkan kita pada sejumlah tragedi di era Orde Baru.

Publik juga mencatat adanya penolakan keras masyarakat terkait sejumlah pembangunan proyek yang berlangsung di berbagai daerah diantaranya kasus PT DH Energy dan PT Pendopo Energi Batubara, KPI Sei Mangke, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua, PLTU Batang Jawa Tengah, PT Bukit Asam-perluasan Bangko Tengah, Pertambangan di Sulawesi, dan Smelter di Kalimantan Selatan, kasus perluasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, dan kasus pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol
Semarang-Solo.

Sebagai sebuah rencana besar jangka panjang yang ditargetkan selesai di 2025, MP3EI mungkin akan menjanjikan banyak hal buat para pemilik modal dan investor yang selama ini terhambat dengan regulasi dan ketiadaan infrastruktur yang memicu ekonomi biaya tinggi di negeri ini. Namun ketika negara berencana, maka seharusnya rakyat menjadi subjek sekaligus objek utama, untuk diperhatikan kepentingannya.

Lewat MP3EI, cetak biru pembangunan di Republik ini bisa dipaparkan pada investor, pemilik modal baik asing maupun dalam negeri. Sama seperti ketika Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) diterapkan pada era Orde Baru. Lewat cetak biru itu pula pendanaan dan pinjaman modal bisa mengucur ke kantong para pelaku usaha, maupun pemerintah dari bank-bank asing.

Dengan MP3EI, investor mendapatkan kemudahan dan kepastian bahwa langkah mereka untuk melancarkan hasrat bisnisnya termasuk didalamnya kemudahan mendapatkan lahan, kemudahan mendapatkan perizinan di tingkat lokal hingga pusat, kemudahan melakukan eksplorasi yang berarti eksploitasi terhadap sumber daya alam, sampai dengan fasilitas lainnya termasuk kontrak jangka panjang, pajak dan royalti, bisa terwujud atas jaminan negara.

Sehingga bisa ditebak sampai kapanpun evaluasi terhadap MP3EI yang sudah diketok palu sejak 2011 lalu, akan menghadapi dinding besar kepentingan negara yang faktanya bersebrangan dengan kepentingan rakyat.

Pemerintah bisa berkoar bahwa, MP3EI sudah melalui berbagai studi dan sudah mewakili seluruh kepentingan yang ada termasuk hak-hak masyarakat. Mereka juga bisa berdalih bahwa, Liberalisasi perdagangan dimana dengan perkembangan teknologi maka perdagangan global akan menembus batas ruang dan waktu, sehingga dibutuhkan aturan bersama yang diwujudkan dengan pembentukan area perdagangan bebas (Free Trade Area) yang melibatkan seluruh negara harus diantisipasi sesegera mungkin.

Namun, ketika harga pangan dalam negeri melambung, impor bahan pangan dilakukan secara jor-joran sementara disisi lain sumber-sumber daya alam kita masih dikuasai perusahaan-perusahaan asing, yang memegang kontrak puluhan tahun sehingga peluang untuk menyimbangkan neraca perdagangan tak kunjung datang, maka dalil pemerintah harusnya sudah gugur dan patut dipertanyakan.

Negeri ini butuh akselerasi, namun berkaca dari kepatuhan Orde Baru pada IMF yang berujung pada "obral" SDA kepada Investor Asing, maka liberalisasi jilid II yang kali ini dipimpin oleh WTO, AFTA hingga APEC atas nama perdagangan bebas lewat MP3EI sebagai perpanjangan program yang digelar di dalam negeri, harus dikaji ulang'.

DPR seharusnya bisa menjadi filter yang kuat bagi berbagai regulasi yang dicurigai mengandung titipan asing dan patuh pada pemodal dibanding pada rakyat dan konstitusi tersebut. RUU Pertanahan, RUU Perdagangan, RUU Investasi Berjangka dan sejumlah RUU lain yang akan menjadi senjata ampuh bagi pemerintah untuk menjual program MP3EI harus dikikis dari berbagai kepentingan yang ujung-ujungnya bisa menjual Indonesia berikut kekayaan alam dan rakyatnya kepada asing.

Jangan sampai lewat MP3EI maka pembangunan di Indonesia hanya sekedar pembangunan, tetapi tiang pancang bangunan megah pembangunan dibuat oleh pihak asing. Pembangunan seperti yang dipertontonkan selama ini hanya mampu menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan yang menjadi pemandangan keseharian di negeri ini.

(*) Perpres No. 32 tahun 2011 mengamanatkan perbaikan 28 aturan yang dapat menghambat pelaksanaan MP3EI dan membuat peraturan-peraturan baru, untuk mempercepat dan memperluas investasi.

Aturan yang harus diperbaiki tersebut terdiri atas tujuh UU, tujuh Peraturan Pemerintah, enam Peraturan Presiden, Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden, dan sembilan Peraturan Menteri, dan ditargetkan selesai pada akhir tahun 2011.

Beberapa aturan lain untuk memperlancar investasi adalah:

PP No. 52/2011 tentang Perubahan

Kedua, atas PP No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Tertentu atau di Daerah Tertentu, Perpres No. 56/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

Ketiga, Perpres No.28/2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah.

Keempat, penerbitan peraturan perundang-undangan yang mendorong pembangunan infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur.

Hasilnya adalah diterbitkannya:
1). Perpres No. 55/2011 tentang RTR Mamminasata (Makassar, Sungguminasa, dan Takalar)
2). Perpres No. 88/2011 tentang RTR Sulawesi
3). Perpres No. 65/2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
4). Perpres No. 66/2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.(rls/mus/ied/bhc/sya)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2