Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
EkBis    
Ekonomi Politik
INDEF: 'Rupiah Tersungkur, Paket Ekonomi Meluncur'
Monday 05 Oct 2015 10:33:46
 

Tampak Para Pakar ekonomi Politik Institute National Development and Finacial (INDEF) saat acara Diskusi Bulanan, Jakarta, Sabtu (3/10).(Foto: BH/mnd)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Para Pakar ekonomi Politik Institute National Development and Finacial (INDEF) melangsungkan Diskusi Bulanan, Bisnis dan Ekonomi Politik dengan tema, ”Rupiah Tersungkur, Paket Ekonomi Meluncur”, terkait kondisi ekonomi Indonesia yang sedang mengalami krisis, dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terpuruk menyentuh Rp. 14.700,- dan khawatir akan kondisi perekonomian Indonesia sekarang 'Deja Vu' dengan kondisi pada tahun 1980-an di Amerika Latin, tepatnya Meksiko.

Dzulfian Syafrian selaku salah satu pakar ekonomi INDEF, yang dahulu merupakan aktivis dan Presidium semasa kuliahnya di Kampus negeri di bilangan Jakarta Selatan, serta mantan Ketua BEM FE UI itu mengingatkan perlu waspada, karena ketika tahun 1982an tersebut Meksiko gagal bayar utang luar negeri swasta, hingga imbasnya krisis dimulai pada 1982 dengan mengumumkan tidak dapat membayar utangnya tepat waktu alias 'Gagal Bayar'. Ingatnya, mewanti-wanti agar tidak terjadi di bumi negeri tercinta Republik Indonesia ini, seperti yang pernah dialami kenangnya semasa tahun 1998 dahulu, yang dibarengi sebelumnya dengan krisis moneter pula.

Berikut ini beberapa kesamaan dengan kondisi yang dialami negara di kawasana Amerika Latin tersebut di era 80-an menurut Pakar Ekonom INDEF yang juga jebolan Swedia saat meneruskan jenjang akademinya itu, yakni: Terjadinya Pelemahan / Resesi Perekonomian Dunia. Jatuhnya Harga Komoditas. Kekurangan Modal atau Likuiditas. Tersedia Limpahan Modal dari negara-negara Pengekspor minyak karena terjadi ledakan harga minyak (oil boom) pada 1970-an. Modal banyak yang bersifat jangka pendek (short term) atau "hot money". Amerika Serikat dan Eropa (akan) menaikan suku bunganya. Larinya Modal (Capital Outflow). Penguatan Dollar (mata uang asing) dan pelemahan mata uang domestik. Tingginya Inflasi. Tingginya suku bunga domestik untuk mengendalikan Inflasi dan Menghindari Modal Keluar.

Kemudian, "Dampaknya mulai nampak dengan; Pertama (1), tingginya PHK dan pengangguran, Anjloknya pendapatan masyarakat, Kedua (2), Turunnya daya beli masyarakat, dan Ketiga (3), Berbagai permasalahan sosial," terang Dzulfian Syafrian, dihadapan insan pers di kantor INDEF, Jakarta Selatan, Sabtu (3/10).

Dzulfian menambahkan, "Paket kebijakan II lebih fokus, sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat umum," harapnya.

Menurut data seperti dijelaskan oleh Prof. Dr. Didik J. Rachbini bahwa, Indonesia masih di dalam peringkat 114 dari 125 (lebih buruk dibandingkan Filipina, Vietnam, bahkan Mongolia) sesuai data laporan World Bank tahun 2015 dari tabel Peringkat Kemudahan Berinvestasi di Negara Asia Timur dan Asia Tenggara. "Kita masih jauh tertinggal, jangan sampai kita hanya menjadi pasar saja," ungkap.

Untungnya Indonesia ada di Nomor 3 untuk Prospek Investasi ke depan (menurut data PBB) Investasi Baik, bawa Dollar dari LN, hingga Kurs Rupiah lebih baik," jelas Dzulfian.

Sementara, pentingnya menjaga dan memperbaiki Iklim Investasi sudah tentu menjadi agenda utama Pemerintah. Maka, Imaduddin Abdullah selaku peneliti Institute National Development and Finacial (INDEF) mengungkap perlu disadari dan dicermati bahwa, realisasi investasi tidak mungkin jangka pendek, walau deregulasi dan debirokratisasi sangat penting karena dampaknya tidak akan terasa dalam waktu dekat.

Kemudian, perlu mengelola espektasi pasar yang sudah berharap paket kebijakan ekonomi II akan terasa dalam waktu dekat. Untuk itu, "Efeknya jika gagal, akan berdampak menurunkan kredibiltas pemerintah, kepercayaan konsumen dan kepercayaan bisnis akan semakin menurun, dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi," jelas Imaddudin, di Kantor INDEF, kawasan Pejaten, Jakarta Selatan pada, Sabtu (3/10).

Berdasarkan hasil riset INDEF melalui data dari Bank Indonesia tahun 2015, tingkat optiminisme konsumen dengan rate 90-125 berdasarkan tabel perkembangan indeks kepercayaan konsumen mengalami penurunan jika dilihat dalam skema tabelnya. Dimana per Januari dan februari 2015, tingkat optimisme konsumen mencapai angka 120,2 namun mengalami penurunan pada bulan maret dengan angka 116,9 kemudian kian merosot dan berangsur stabil pada bulan mei hingga agustus dengan rata-rata tingkat kepercayaan konsumen kisaran 110-112. Hingga bulan september menurun kembali di angka di kisaran 97-98.

Dari amatan pewarta BeritaHUKUM.com di lokasi acara bahwa, menurut kacamata Imanudin, hal ini terjadi karena kebijakan deregulasi dan debiroktatisasi pada paket kebijakan ekonomi hanya menyelesaikan permasalahn investasi di tingkat pusat. Padahal, otonomi daerah memberikan implikasi bahwa, beberapa perizinan harusnya dilakukan di daerah karena beberapa daerah masih sangat birokratis dan lama dalam menyelesaikan perizinan.

"Dalam paket Kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan Pemerintah (September I dan II). Pemerintah kecenderungannya fokus pada Supply Side dan Upcoming Investor," ujar Imaduddin Abdullah.

Dengan deflasi 0,05% per bulan September 2015 dapat dimaknai rendahnya permintaan masyarakat sebagai dampak dari terpukulnya daya beli masyarakat dan demand side. Demand side memiliki dampak yang besar bagi ekonomi Indonesia, lebih dari 55% PDB Indonesia berasal dari konsumsi domestik.

Selain itu berdasarkan catatan sejarah Indonesia selamat dari krisis global pada tahun 2008 karena ditopang oleh Konsumsi Domestik.

Maka dari itu, INDEF menilai berdasarkan hasil risetnya memberikan masukan kepada Pemerintah agar perlu fokus pada demand side, dengan mengembalikan daya beli masyarakat dengan beberapa program yang mendorong seperti :

Menggelontorkan paket stimulus ekonomi melalui pembangunan Infrastruktur, serta menginvestasikan dan ekstensifkan berbagai cash transfer.

Ditambahnya lagi, seharusnya "Salah satu kebijakan existing investor dengan memberikan insentif fiskal bagi para pelaku usaha, sehingga dapat menekan biaya produksi yang membebani para pelaku usaha umumnya," jelasnya lagi.

Karena fenomena PHK yang cukup tinggi, yang merupakan solusi guna menekan ongkos produksi yang sangat tinggi, terkait permintaan produk di masyarakat masih rendah. Ongkos produksi bisa ditekan dan harga suatu produk bisa lebih murah atau tinggi, tergantung dengan daya beli masyarakat.

Maka itu pemberian Insentif harus difokuskan pada :

-) Industri yang berorientasi ekspor, insentif tersebut dapat dalam bentuk tax allowance, perunan bea keluar, maupun biaya ekspor.

-) Selain itu industri yang dengan aliran PMA yang besar (untuk meningkatkan capital flow) dan meningkatkan dollar di pasar domestik.

-) Terakhir industri dengan penyerapan tenaga kerja yang besar.

Sebagai tambahan juga, "Pemerintah dapat juga dengan menurunkan beban produksi perusahaan dalam negeri dengan menyesuaikan harga yang diatur dalam pemerintah (administered price), seperti harga tarif dasar listrik (TDL) non-subsidi." tandas Imaduddin Abdullah.

Sedangkan, Pakar ekonomi senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Prof. Dr. Didik J. Rachbini mengatakan bahwa, paket stimulus I dan II sudah 'on the track' dan berguna mengatasi paket kebijakan ekonomi kita, walau terlambat sekali. "Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali," kata Rachbini.

Keterlambatan ini harus dikejar, karena seharusnya paket ini dimulai sejak tahun lalu pada waktu awal pemerintahan baru berjalan. Dikarenakan, "Benteng neraca perdagangan dan neraca berjalan jebol sejak tahun 2012," ungkap Rachbini menerangkan. Hal ini karena komoditas ekspor utama jatuh di pasar internasional.

Namun, perlu digarisbawahi pilar dari paket kebijakan ekonomi itu, "Hambatan paling krusial adalah Birokrasi. Birokrasi di Indonesia terparah di mukabumi ini," tegasnya.

Maka, "Paket ini harus lebih agresif, kuat dan solid. Pemimpin tidak kuat akan gagal," terangnya.

"Saat ini di pemerintahan harus solid untuk menghasilkan Goal. Sekarang harus tahu ini krisis dan harus diselesaikan," tandasnya mengingatkan.(bh/mnd)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

Istana Dukung Kejagung Bersih-bersih di Pertamina: Akan Ada Kekagetan

Megawati Soekarnoputri: Kepala Daerah dari PDI Perjuangan Tunda Dulu Retreat di Magelang

 

ads2

  Berita Terkini
 
3 Anggota Polri Ditembak Oknum TNI AD di Way Kanan Lampung, Menko Polkam Minta Pelaku Dihukum Berat

BNNP Kaltim Gagalkan Peredaran 1,5 Kg Sabu di Samarinda dan Balikpapan

Kasus Korupsi PT BKS, Kejati Kaltim Sita Rp2,5 Milyar dari Tersangka SR

Tolak Tawaran Jadi Duta Polri, Band Sukatani Akui Lagu "Bayar Bayar Bayar" Diintimidasi

10 Ribu Buruh Sritex Kena PHK, Mintarsih Ungkap Mental Masyarakat Terguncang

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2