JAKARTA, Berita HUKUM - Persoalan ekonomi di Indonesia mengalami sengkarut selama berpuluh tahun yang tidak terselesaikan apalagi bila menghadapi momen 'bulan puasa' menjelang lebaran, soalnya karena salah urus ungkap Enny Sri Hartati sebagai Direktur Institute for Development and Finance (INDEF) pada para wartawan, selepas usai diskusi rutin solusi ekonomi Indonesia bertema,"Sengkarut Tata Kelola Pangan" yang diadakan INDEF yang bekerjasama dengan Radio PAS FM di Veteran Coffee & Resto, Jl. Veteran I No.21, Gambir, Jakarta. Jakarta Pusat. Senin (6/6).
Menurut pandangan peneliti dan pengamat ekonomi tersebut, Pemerintah, khususnya Presiden Ir Joko Widodo betul-betul memperhatikan sektor pertanian mesti konkrit, tidak lagi pencitraan dan hanya memenuhi ranah politik serta jangan pernah menggantungkan kedaulatan energi dan pangan kita.
"Sektor pertanian menjadi fundamental dari sebuah negara, bila mau selesaikan problem yang tiap tahun muncul. Produksi pasokan harus meningkat, maka yang dilakukan harus ada konsistensi kebijakan." imbuhnya menambahkan.
Soalnya, menurut Direktur INDEF itu bahwa, kebijakan yang hanya untuk pencitraan saja akan menyebabkan gejolak di masyarakat. "Bahkan ada anomali di Internasional pasar, domestik kita tinggi. Harga komoditas semua pangan turun, malahan harga pangan kita naik. Justru kondisinya produksi anjlok di dalam negeri. Populasi Sapi dari berjumlah 14 juta berkurang menjadi 12 juta saat ini." jelas Eni.
Persoalan tersebut terjadi karena imbas dari harga pakan tinggi, ditambah lagi dimana produksinya tergantung dari impor. Bila tidak menempatkan ke sisi hulu pada petani. hanya akan menyebabkan anjlok, yang setiap panen harga tinggi dimana biang kerok fundamental. Padahal Indonesia sebagai negara agraris mesti menjadi produsen dan patokan di dunia.
"Semua mekanisme, dimana negara lahir bukan memperbaiki. Namun intervensi, Pemerintah malahan akan menyebabkan market failure. Intervensi inilah yang sebabkan kegagalan pasar," ujarnya.
Kenapa kita terus menerus membahas persoalan sengkarut pangan. Yakni pada sisi produksi pemerintah. Dimana, mesti minta pertanggungjawaban atas pangan, jika salah urus akan menyebabkan ketertinggalan pangan nantinya.
Sementara, di lokasi dan tempat yang sama, Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari fraksi Partai Amanat Nasional ( PAN) yang hampir senada dengan direktur INDEF tersebut menyampaikan, Pemerintah mestinya menyelaraskan data di Kementerian Perekonomian (Kemenko), soalnya masing-masing mempunyai data sendiri hingga tidak balance.
Ikhwalnya, seperti persoalan jagung, ketika ada Rakernas mengenai jagung, dari pihak Kementerian Pertanian mengungkap komoditas jagung surplus 3 juta ton hingga ditanggapi tidak perlu impor. "Baik dimana BPS, INDEF, Kementan, Kemendag selalu berbeda-beda. BPS mesti diberi dana lebih untuk menyusun data primer agar koordinasi antar lembaga Pemerintah tidak lemah," ujarnya, mengingatkan mengacu pada UU no 8 tahun 2015, tugas pemerintah untuk mempersiapkan, menyiapkan.
Beberapa variabel perlu dicermati dalam menilai naik turunnya harga, yang menurut Viva Yoga Mauladi bahwa, bila pasokan berkurang, harga akan naik, maka pasokan lebih harga akan turun. "Tiap momen lebaran akan kenaikan harga pangan. Namun, saat ini statement Pemerintah beda dengan di pasar. Pemerintah selalu katakan stok pangan cukup," kata Viva Yoga, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI.
"Namun coba lihat harga daging di Aceh, dari 120 ribu naik menjadi 170 ribu per kg. Yang rugi sudah tentu Konsumen. Namun, belum tentu produsen (petani, peternak).
Apa karena tidak efisien jalur distribusi, atau ada keuntungan bagi petani peternak?," ungapnya.
Selain itu, Viva Yoga juga menjelaskan bahwa, apabila ada selisih harga karena menurut UU pangan. Baik Pemerintah, Polri boleh melakukan penyelidikan. "Kalau melihat ada selisih harga (gejala pangan) bisa dijerat pidana, hukumannya bisa dipidana selama 7 tahun, dengan denda 100 milyar," jelasnya.
Menurutnya, "jangan hanya tuduh ada kartel, ada mafia namun segera 'tangkap dong'. Soalnya sudah pasti konsumen dirugikan. Dimana penurunan harga yang rugi produsen, kalau kenaikan harga yang rugi konsumen," cetusnya.
Selanjutnya bila ditinjau dari sisi fundamental, Viva Yoga mengatakan dimana tanah pertanian luas."Bila kita tidak memiliki kemampuan, maka akan impor melulu, baik jagung, susu, daging, garam, dan sebagainya. Jangan begitu, ini mesti ada perubahan paradigma dalam pertanian."ujarnya
"Saya harap pemerintah harus adil. Bukan maksudnya komando, namun mesti ada dimana kelompok tertentu yang disesuaikan agar adil baik bagi produsen, konsumen, maupun pelaku usaha. Pelaku usaha mesti dipayungi oleh kepastian hukum," imbuhnya menjelaskan.
Bisa dengan misalnya membuat program food estate, seperti MIFE, dulu pernah ada 'Merauke Investmen Food Estate', dimana perlu ada program yang dekat dengan konsumen. Selain itu, perlu ada diversifikasi pangan.
Misalnya, menurut Viva bisa dengan diversifikasi dengan contoh daging sapi, kenapa tidak ada daging kerbau? "Untuk penyeragaman daging, dimana asupan protein yang hampir sama. Namun, karena kerbau berkurang jumlah populasinya, maka perlu dibudidayakan." jelas Viva Yoga.
Lalu kemudian jangan lupa juga dimana peran kampus, swasta, departemen untuk sinergis. Jika dari Pemerintah beda kebijakan, akan menyebabkan sistem kebijakan berbeda seperti saat ini. "Yang mesti menjalankan UU pangan, pertanian. Jangan menyebabkan pelaku usaha menjadi 'musuh'." pungkasnya.(bh/mnd) |